Follow Us

Live Streaming Youtuber Terancam Dilarang Jika Tuntutan RCTI soal Live di Medsos Harus Berizin

None - Sabtu, 29 Agustus 2020 | 12:28
Pria dan wanita berusia 40-79 tahun yang menonton TV lebih dari 5 jam setiap hari, risikonya terkena
Lutfi Fauziah

Pria dan wanita berusia 40-79 tahun yang menonton TV lebih dari 5 jam setiap hari, risikonya terkena

Nextren.com - PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) menggugat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ( UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dua perusahaan itu mengajukan uji materi soal UU Penyiaran, dan menilai pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional dan perusahaan over the top (OTT).

Penyelenggara penyiaran konvensional menggunakan frekuensi radio, sementara OTT seperti Facebook, Instagram, YouTube , dan Netflix menggunakan internet.

Baca Juga: Unboxing Samsung Galaxy Tab S7+, Layarnya Bikin Puas Nonton Netflix

Apabila gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha terancam tidak leluasa menggunakan media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook dkk untuk melakukan siaran langsung (live).

Mereka dituntut untuk memiliki izin siaran, atau menjadi lembaga penyiaran terlebih dahulu, sebelum bisa melakukan aktivitas Live di media sosial.

Tidak masuk akal

Menurut Koordinator Divisi Penelitian Lembaga Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi, Muhammad Heychael, gugatan tersebut tidak masuk akal dan akan mengerdilkan ruang demokrasi.

Heychael menjelaskan apabila media sosial disepakati masuk kategori penyiaran, konsekuensinya adalah masyarakat harus memiliki izin siar jika ingin menggunakan platform media sosial untuk melakukan siaran langsung sebagaimana industri televisi.

Baca Juga: Banyak Penipuan Lelang Online Barang Gadai, Begini Cara Menyikapinya

Menurut Heychael, logika tersebut salah kaprah.

"Yang jadi masalah gini, kenapa UU Penyiaran itu mengatur frekuensi milik publik secara ketat, karena frekuensinya milik publik, karena itu dia gak bisa sepenuhnya bisnis," jelas Heychael.

Alasan kedua, model platform yang dikonsumsi adalah secara massal dan langsung.

Siaran TV yang menggunakan frekuensi publik memiliki pilihan yang terbatas.

Hal ini berbeda dengan internet, di mana pengguna bisa memilih tontonan yang sangat beragam dan berbeda.

Baca Juga: Google Duo Bakal Bisa Digunakan di Android TV, Benarkah Batal Ditutup?

"Karena internet sistemnya jaringan bukan komunikasi massa. Ketika kita menyamakan ini, berhubung internet juga pakai frekuensi, tapi tetap enggak bisa (disamakan) karena logika medianya beda," tuturnya.

"(Dampak gugatan) akan mengerdilkan ruang-ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi. Ini preseden yang buruk," jelas Heychael melalui sambungan telepon kepada KompasTekno, Jumat (28/8/2020).

Menurut Heychael, berkaca dari negara lain, perusahaan OTT lebih banyak diatur pada aspek bisnisnya.

"Misalnya AS itu yang diatur soal hate speech, pajaknya ditarik, yang diatur aspek bisnisnya bukan boleh atau tidak boleh (membuat siaran) dan harus izin atau sebagainya," jelasnya.

Baca Juga: Xiaomi Indonesia Janji Akan Service Perangkat 5 Hari atau Tukar Baru

Tantangan internasional

Pendapat Heychael setali tiga uang dengan Riant Nugroho, pengamat kebijakan publik.

Riant berpendapat jika gugatan RCTI dan iNews dikabulkan MK, Indonesia akan dikucilkan di mata internasional.

Selain itu, perubahan UU Penyiaran juga hanya akan berdampak positif bagi pelaku bisnis penyiaran.

Sementara diketahui platform digital kini juga menjadi instrumen ekspansi global dari sebuah negara.

Baca Juga: 3 Langkah Bagi Para Pengusaha UKM Agar Terhindar Dari Tindak Penipuan

Misalnya saja Amerika Serikat yang memiliki Google dan Facebook, serta China yang memiliki Tencent.

"Jika (perubahan UU) dieksekusi, Indonesia akan menghadapi tantangan internasional. Karena yang dihadapi bukanlah Google atau Facebook saja, tetapi pihak yang ada di balik mereka," kata Riant kepada KompasTekno, Jumat (28/8/2020).

Permintaan perubahan UU Penyiaran juga membuat regulasi tersebut menjadi terlihat kadaluwarsa secara peradaban.

"Apabila direspons, kebijakan kita akan jadi usang. Pemerintah bisa dianggap membuat kebijakan yang diatur oleh vendor," pungkas Riant.

Baca Juga: Tiga Smartphone Lipat Baru Disiapkan, Bakal Jadi Smartphone Termahal Samsung

KPI mendukung

Berseberangan dengan Heychael dan Riant, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis justru menyambut baik gugatan ini.

Andre menolak anggapan bahwa adanya perubahan regulasi penyiaran, bakal melemahkan industri.

Justru menurut Andre, regulasi berfungsi untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri.

Dia mencontohkan, sebelum ada UU Penyiaran, jumlah stasiun televisi di Indonesia hanya tiga atau empat saja.

Namun setelah terbit UU Penyiaran, kini ada 1.106 saluran televisi dan 2.107 radio.

Televisi Indonesia juga memuat minimal 60 persen konten dalam negeri.

"Coba bayangkan kalau nanti televisi kontennya 100 persen asing saja karena tidak ada regulasi, enggak bisa diawasin," kata Andre.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tuntutan RCTI soal Live di Medsos Harus Berizin Dinilai Tidak Masuk Akal"Penulis : Wahyunanda Kusuma Pertiwi

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya

Latest