Alasan kedua, model platform yang dikonsumsi adalah secara massal dan langsung.
Siaran TV yang menggunakan frekuensi publik memiliki pilihan yang terbatas.
Hal ini berbeda dengan internet, di mana pengguna bisa memilih tontonan yang sangat beragam dan berbeda.
Baca Juga: Google Duo Bakal Bisa Digunakan di Android TV, Benarkah Batal Ditutup?
"Karena internet sistemnya jaringan bukan komunikasi massa. Ketika kita menyamakan ini, berhubung internet juga pakai frekuensi, tapi tetap enggak bisa (disamakan) karena logika medianya beda," tuturnya.
"(Dampak gugatan) akan mengerdilkan ruang-ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi. Ini preseden yang buruk," jelas Heychael melalui sambungan telepon kepada KompasTekno, Jumat (28/8/2020).
Menurut Heychael, berkaca dari negara lain, perusahaan OTT lebih banyak diatur pada aspek bisnisnya.
"Misalnya AS itu yang diatur soal hate speech, pajaknya ditarik, yang diatur aspek bisnisnya bukan boleh atau tidak boleh (membuat siaran) dan harus izin atau sebagainya," jelasnya.
Baca Juga: Xiaomi Indonesia Janji Akan Service Perangkat 5 Hari atau Tukar Baru
Tantangan internasional
Pendapat Heychael setali tiga uang dengan Riant Nugroho, pengamat kebijakan publik.
Riant berpendapat jika gugatan RCTI dan iNews dikabulkan MK, Indonesia akan dikucilkan di mata internasional.