Seorang konglomerat bisa punya perkebunan kelapa sawit hingga ratusan ribu hektare, yang ditanam di atas lahan milik negara lewat skema Hak Guna Usaha (HGU).
Sementara luas kebun kelapa sawit BUMN hanya sekitar 4 persen saja dari seluruh luas kebun sawit di seluruh Indonesia.
Bahkan jika 4 persen kebun kelapa sawit BUMN itu digabung dengan seluruh kebun sawit petani totalnya hanya sekitar 7 persen, maka masih kalah jauh dibandingkan kebun sawit para pengusaha swasta.
Jadi hal ini yang membuat pemerintah tak bisa mengendalikan harga minyak goreng lewat BUMN.
BUMN sebenarnya sudah berupaya meningkatkan produksi minyak goreng dari pabrik kelapa sawitnya. Namun tentu saja hal itu butuh waktu panjang.
Baca Juga: Twitter Siapkan Fitur 'Status', Bisa Dibagikan di Lini Masa dan Profil
Apalagi dengan 4 persen kebun sawit BUMN, hanya seperempat dari produksinya yang diolah untuk minyak goreng, karena sebenarnya sejak awal BUMN itu memang tidak memproduksi minyak goreng.
Karena itu Erick Tohir meminta andil pengusaha swasta untuk menekan harga minyak goreng karena mereka sudah untung besar dari sumber daya yang ditanam di tanah Indonesia.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, para pengusaha swasta itu malah ikut menaikkan harga minyak goreng dengan alasan harga CPO global juga melonjak.
"Jadi pengusaha swasta juga harus bertanggung jawab menyelesaikan (lonjakan harga minyak goreng). Jangan menjadi orang asing karena berasal kekayaannya dari sumber daya alam Indonesia, namun tidak hadir saat rakyat butuh, ujar Erick Tohir dilansir kompas.com.
Dugaan kartel
Terkait adanya dugaan kartel yang bermain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memang melihat ada sinyal kartel dari kenaikan harga minyak goreng ini.