Nextren.com -Salah satu orang paling arif di Indonesia yang wafat beberapa waktu lalu, Buya Syafiie Maarif, pernah berkata tentang Papua yang masih mencetuskan konflik. Papua dan Jakarta, katanya, harus arif semua. "Harus dipahami, Papua masuk Indonesia belakangan, bukan tahun 1945, dan tidak sama dengan Aceh. Mesti ada pendekatan di samping sosial ekonomi, juga psikoantropologis. “Papua harus diselamatkan,” ujarnya.Dan hingga abad 20 berlalu, orang masih saja yang bertanya, seberapa jauh perhatian kita kepada saudara-sadara kita yang tinggal di Papua dan Papua Barat. Mengapa rasanya jangankan pendekatan psikoantropologis, pembangunan di kawasan yang luasnya tiga kali luas Pulau Jawa itu terasa sangat lambat dan “kurang menggigit”.Saat gencar-gencarnya pemerintah mengupayakan transformasi digital, belum banyak warga kedua provinsi itu yang bisa mengenyam jasa jaringan telekomunikasi.
Baca Juga: Jatuh Bangun BAKTI dan Lintasarta Bangun Ribuan BTS 4G di Daerah TerpencilBeda dengan kawasan lain yang sudah sangat tergantung pada jasa teknologi telekomunikasi, terlebih saat pandemi covid-19 ketika pemerintah membatas pergerakan manusia.Sementara tak ada tradisi masyarakat Papua berkomunikasi seperti suku-suku Indian di Amerika, misalnya, yang menggunakan asap, karena kondisi geografi keduanya berbeda. Suku Indian tinggal di padang rumput, prairie, yang umumnya datar, saudara-saudara kita di Papua tinggal di antara hutan lebat, gunung, jurang, lembah, yang nirprasarana jalan, jalan setapak pun.Luas Papua dan Papua Barat 420.540 km2, tiga kali lebih luas pulau Jawa yang 128.297 km2, dihuni sebanyak 5,4 juta jiwa di 7.547 desa, kepadatan penduduknya 11 jiwa per km2. Ada 145 juta jiwa di 25.266 desa/kelurahan di Jawa, kepadatannya 1.171 jiwa per km2.Satu desa/kelurahan di Jawa 4 km2 sudah disebut luas, di Papua luas desa bisa 50 km2. Berjalan dari ujung ke ujungnya perlu sehari penuh karena kendala alam dan minimnya prasarana jalan.Pakai kerbauKondisi geografi Papua menyulitkan operator telekomunikasi membangun BTS (base transceiver station), pemancar-penerima sinyal radio yang digunakan untuk komunikasi. Radius layanan satu BTS sekitar 5 km2 sehingga untuk satu desa di Bali cukup 1 atau 2 BTS untuk 4.500-an penduduk.Namun, untuk desa di Papua penduduknya hanya 550 orang, tetapi terpencar dalam kampung yang terpisah-pisah dan tidak cukup satu BTS. Jadi perlu dua, tiga atau lima BTS.
Baca Juga: Elon Musk Hadirkan Internet Starlink di Ukraina, Atasi Krisis Jaringan
Ketika sebuah BTS dibangun di depan kantor desa, sekolah atau puskesmas, sinyalnya tidak akan merata ke semua rumah penduduk. Bahkan walau mereka tinggal dekat, hanya sejauh 1.000 meter, tetapi hutan lebat, jurang, lembah dan bukit menjadi penghalang (obstacle). Papua dan Papua Barat masuk kawasan yang disebut 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) bersama beberapa kawasan di Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Pemerintah lewat Badan Aksesbilitas Komunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Kominfo berupaya membangun fasilitas telekomunikasi di Papua. Ada dana pembangunan USO (universal service obligation) dari setoran 1,25% pendapatan kotor operator, setahun terkumpul Rp 2,6 triliun – Rp 3 triliun. Ini masih jauh dari kebutuhan sehingga di tahun 2021 ditambah dari APBN dan sumber lain, menjadi Rp 17 triliun dan tahun 2022 diusulkan Rp 24 triliun tetapi baru disetujui Rp 14 triliun, akibat pandemi. Di Papua, kontraktor Bakti harus menerabas hutan perawan, naik turun bukit saat membawa material menara BTS dan bahan bangunan yang harus dipikul atau pakai kerbau.Bahkan tidak jarang terpaksa menyewa helikopter. Biayanya 1 BTS bisa lebih dari Rp 2 miliar. Sementara di Tarutung, Sumatera Utara, hanya sekitar Rp 200 juta – Rp 250 juta per BTS. “Seperti mengasinkan air sungai hanya dengan menabur sesendok garam,” ujar seseorang yang menyaksikan kerja petugas pembangun BTS di satu desa di Puncak Jaya. Biaya mahal satu BTS per desa masih belum terasa, murid sekolah tetap sulit mengunduh materi pelajaran dari tempat tinggalnya yang di balik bukit.
Baca Juga: Jaringan Fiber Optik Palapa Ring Timur Sudah Dibangun Ribuan KM, Menunggu Kesiapan Operator Seluler MasukKendala alam membuat pembangunan BTS di Papua berjalan lambat, dari tahun 2015 hingga 2020 hanya terbangun 437 BTS.Sebanyak 224 BTS ada di Papua Barat dan 213 sisanya di Provinsi Papua. Tetapi tahun 2021 selesai terbangun 4.200 BTS dan hingga akhir tahun 2022 jumlahnya akan menjadi 5.204 BTS.Tak putus berdoaSelain BTS, Bakti juga membangun sarana gelombang mikro (micro wave) untuk mencapai daerah terpencil, namun tetap tak lepas dari kendala geografi.Karena antarmenara gelombang mikro harus lurus dan “terlihat”, line in sight. Sarana telekomunikasi lain, serat optik, juga sudah digelar lebih dari 12.500 kilometer berupa Palapa Ring Timur, Tengah dan Barat, termasuk gelaran di darat untuk sampai ke konsumen.Layanan telekomunikasi yang tidak terkendala geografi adalah satelit. Bakti menggunakannya untuk ribuan titik dengan teknologi VSAT, very small aperture terminal, yang kapasitasnya hanya 2 megabit per detik (mbps). Saat ini Bakti sedang mempersiapkan peluncuran Satelit multi fungsi HTS (high throughput satellite) pada akhir 2023, Satria 1, yang berkapasitas 150.000 Gibabit, harganya Rp 7,1 triliun, untuk menjangkau 150.000 titik di Bumi.
Baca Juga: Internet Satelit Starlink Bakal Hadir di Indonesia Tahun Depan, Bisa Download 200 Mbps di Mana SajaDengan perkiraan layanan Satria dioperasikan 15 jam/hari, per pengguna per bulan hanya akan dapat jatah 1,14 Gbps. Jika Satria 2A dan 2B yang berkapasitas 300 GB diluncurkan 2024, jatah pengguna akan naik jadi 2,29 Gbps.Jika ditambah satelit berikutnya, Satria 3 yang berkapasitas 500 GB, maka jatah mereka hanya jadi 3,82Gbps. Kapasitasnya besar, tetapi jangan bandingkan dengan penduduk Depok yang dalam sebulan saja bisa melahap 5GB.Masalah lebih besar bukan di kapasitas satelit, tetapi di soal keamanan. Banyak fasilitas telekomunikasi yang dioperasikan Bakti berupa menara, BTS, repeater, solar sel dan bangunan fisik ditebang dan dihancurkan KKB (kelompok kriminal bersenjata).Gangguan tidak pernah berhenti, sehingga Galumbang Menak, Presdir PT Moratelindo yang ikut membangun BTS, serat optik dan gelombang mikro di Papua, merasa sangat terusik. “Dua puluh tahun saya tidak berdoa. Tetapi ketika membangun di Papua, saya tidak pernah putus berdoa,” katanya.Masalah teknis sosial ekonomi seperti ini yang sudah keras diupayakan saja, masih banyak terkendala. Mungkin perlu didengar pendapat Buya Syafii, masalah pendekatan psikoantropologis perlu mulai disandingkan. Bagaimana itu pendekatan psikoantropologis? Secara singkat bisa digambarkan ketika Rabu (15/6) lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe berang. Lukas kesal karena pemerintah dari DPR ngotot setuju Papua dimekarkan menjadi 3 DOB (daerah otonomi baru). Bukannya tujuh DOB seperti yang Lukas usulkan sejak 2014 sesuai wilayah adat Papua. *Moch S Hendrowijono, pengamat telekomunikasi, mantan editor Harian Kompas.