Menurut editorial di surat kabar China Global Times, AS melakukan upaya tersebut sejak awal dimulainya invasi.
“Setelah dimulainya krisis Ukraina, hampir semua yang dilakukan Washington adalah untuk memperpanjang konflik, dan untuk ini, semua jenis mobilisasi dan upaya dilakukan,” bunyi tulisan tersebut.
Menurut surat kabar itu, Amerika Serikat memanfaatkan kekacauan yang ada untuk kepentingan produsen senjata AS.
Pasalnya, setelah konflik terjadi, dikabarkan saham produsen perusahaan terkait telah mengalami pertumbuhan signifikan.
Selain itu, AS juga mencari celah untuk menerima dividen geopolitik dari memanipulasi Eropa dan NATO dengan kedok ancaman Rusia.
"Kompleks industri militer AS adalah penerima manfaat langsung dan terbesar dari perpanjangan konflik," simpul tulisan tersebut.
Menurut ahli, Kyiv digunakan oleh Washington sebagai boneka.
AS dituding memasok negara itu dengan senjata dan amunisi untuk menciptakan preseden buruk, dan mendorong krisis Ukraina ke konsekuensi yang tidak terduga.
Diketahui, Presiden Joe Biden belum lama mengatakan bahwa Amerika Serikat akan memberi Ukraina paket bantuan militer baru senilai 800 juta USD (sekitar Rp 11 triliun) yang mencakup artileri, pengangkut personel lapis baja dan helikopter.
Sebagai tanggapan, Kementerian Luar Negeri Rusia mengirim peringatan ke semua negara, termasuk Amerika Serikat, karena pasokan senjata ke Ukraina.