Penggunaan orbit membuat jangkauan hulu ledak berpotensi tidak terbatas, artinya dapat ditembakkan ke targetnya dari segala arah.
Cara ini membantu untuk menghindari sistem radar yang umumnya menunjuk pada titik tetap di langit, dan dalam kasus Amerika di atas Kutub Utara.
Sementara itu, China juga telah meluncurkan rudal jarak menengah hipersonik, DF-17, pada 2019, yang dapat menempuh jarak sekitar 2.000 kilometer dan dapat membawa hulu ledak nuklir.
Pada bulan Oktober, China mengerahkan rudal DF 17 ke daerah pesisir sebagai persiapan untuk kemungkinan invasi ke Taiwan.
Senjata itu memiliki jangkauan maksimum 2.500 kilometer (1.550 mil) dan mampu mencapai kecepatan hingga 7.680 mil per jam (12.360 km/jam) - atau 10 kali kecepatan suara - sambil membawa hulu ledak nuklir.
Rudal ini disebut sebagai 'hukuman mati' bagi kapal induk yang berada dalam jangkauannya.
Rudal hipersonik bergerak lebih dari lima kali kecepatan suara di atmosfer atas - atau sekitar 6.200 km per jam (3.850 mph).
Kecepatan ini lebih lambat dari rudal balistik antarbenua, tetapi karena bisa dibawa kendaraan luncur maka memungkinkannya untuk bermanuver menuju target atau menjauh dari pertahanan.
Gabungan kendaraan luncur dengan rudal ke orbit, bisa mengurangi waktu reaksi musuh dan mekanisme pertahanan tradisional.
Sebaliknya, Rudal balistik antarbenua (ICBM) membawa hulu ledak nuklir pada lintasan balistik yang melakukan perjalanan ke luar angkasa, tetapi tidak pernah mencapai orbit.
China bersikeras bahwa uji pada bulan Agustus lalu adalah uji rutin untuk pesawat ruang angkasa daripada rudal.