Jika terjadi kebocoran data, pengelola data jelas mendapatkan malu.
Tetapi yang menjadi korban dan mengalami kerugian terbesar dari kebocoran data itu bukan pengelola data melainkan pemilik data.
Hal ini yang sering terjadi di Indonesia dimana ketika kebocoran data terjadi, pengelolanya bukannya mengevaluasi diri, mengumumkan data apa saja yang bocor dan siapa saja yang mungkin terpengaruh supaya bisa melakukan antisipasi.
Sebaliknya malah berusaha menyangkal dengan bermain-main dengan definisi kebocoran data atau sibuk melakukan lobby politik mengamankan posisinya dengan bombastis mengatakan bahwa ia mengelola big data yang besar dan kompleks.
Padahal justru kalau mengelola big data yang besar dan kompleks itu berarti tanggung jawabnya besar dan kompleks dan tidak boleh bocor.
Pemegang KTP Indonesia sebenarnya sudah menjadi korban kebocoran data yang masif terindikasi dari banyaknya penyalahgunaan data kependudukan untuk kepentingan jahat.
Contohnyapenyalahgunaan data yang sering terjadi adalah sebagai berikut :
- Membuka rekening bodong untuk menampung hasil kejahatan
- Menggunakan KTP Aspal (KTP palsu dengan data asli) untuk mendapatkan keuntungan finansial,misalnya mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
- Penyalahgunaan data kependudukan untuk kepentingan lain seperti aktivasi kartu SIM PraBayar.
- Gangguan telemarketer atau teror debt collector yang menyalahgunakan database yang seharusnya tidak boleh dibagikan sembarangan.
Padahal ini adalah hal yang tidak wajar melainkan kurang ajar dan melanggar hukum.
Baca Juga: Bocornya 279 Juta Data Pribadi Penduduk Indonesia, 20 Juta Nama Lengkap dengan Foto
Kebocoran data medis
Ditahun 2022 ini, kembali kita mendapatkan “hadiah” tahun baru yang kurang menyenangkan dimana 6 juta data pasien dari banyak rumah sakit Indonesia sebanyak kembali bocor dan dijual.