Perlu dicatat bahwa jumlah situs para peneliti temukan masih jauh di bawah angka sebenarnya.
Pasalnya, studi hanya berfokus pada teks dan situs-situs ritel, sementara desain-desain yang manipulatif dan situs lain, seperti situs travel dan sosial media, belum dipertimbangkan.
Baca Juga: Instagram Berikan Fitur Baru, Kini Belanja jadi Semakin Mudah!
Para peneliti kemudian mengategorikan teknik-teknik yang digunakan menjadi 15 tipe, misalnya membuat pembeli kesulitan membatalkan pembelian, mempermalukan pembeli ketika mereka ingin meninggalkan situs (seperti mengganti tombol pembatalan menjadi “Tidak terima kasih, saya tidak suka makanan enak”) dan membuat testimoni palsu.
Lebih jauh, ketika The New York Times mencoba untuk mereplikasi hasil studi; mereka menemukan bahwa beberapa situs bahkan sengaja membuat produk yang Anda lihat seakan-akan dibeli oleh orang lain.
Keberadaan pembeli palsu ini, tulis The New York Times, Senin (24/6/2019), diciptakan untuk membuat tekanan sosial yang akan memaksa Anda ikut membeli.
Baca Juga: Fits.ID, Tempat Berbelanja Yang Pas Untuk Kebutuhan Hidup Sehat
Kepada The New York Times, Arvind Narayanan selaku profesor sains komputer di Princeton dan penulis studi mengakui, bahwa pesan-pesan yang menunjukkan bahwa suatu barang sedang diburu oleh banyak orang tersebut bisa jadi tidak termasuk dark pattern bila memang benar adanya.
Namun, itu pun merupakan upaya untuk memanipulasi kelemahan konsumen.
“Kami tidak mengklaim bahwa semua yang kami kategorikan dalam laporan harus menjadi perhatian pembuat kebijakan pemerintah."
Baca Juga: Survey 5 Kota Besar Indonesia: Masyarakat Habiskan Rp 1,2 Juta Selama Ramadhan untuk Belanja Online
"Tapi seharusnya ada transparansi mengenainya sehingga orang-orang yang belanja online sadar bagaimana perilaku mereka diarahkan,” ujarnya.