Oleh: Pepih Nugraha, jurnalis penggiat media sosial Lima tahun lalu, akhir 2010 saya transit di Bandara Internasional Dubai sebelum melanjutkan perjalanan ke Moskow, Rusia. Di ruang tunggu keberangkatan, ada empat remaja putri yang sedang mengambil foto bersama menggunakan kamera ponsel. Mereka berbicara dalam Bahasa Perancis. Karena saya duduk tepat di depan mereka, saya menawarkan diri untuk mengambil gambar mereka semua dalam sekali jepretan.Mungkin karena semua anggota akan berada dalam satu frame, mereka menerima tawaran saya dan menyerahkan kamera ponselnya. Saya kemudian mengambil gambar mereka. Di layar ponsel sebelum saya tekan, terlihat senyum menawan para remaja ini. Keriangan yang terpancar sangat alami, gaya yang wajar. Mereka fokus pada mata kamera dengan gaya masing-masing. Jepret. Selesai… dan para remaja ini berterima kasih karena bisa berkumpul dalam satu frame, satu momen.Beberapa pekan lalu, saya berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, menunggu di ruang keberangkatan F5. Peristiwanya hampir sama, hanya berbeda jarak dan waktu. Ada tiga perempuan muda, meski tidak bisa dikatakan remaja, mencoba groofie dengan mengambil gambar mereka bertiga dalam satu frame. Mereka melakukan groofie di depan saya, juga menggunakan kamera berponsel. Seperti biasa, saya menawarkan diri untuk mengambil gambar, biar gaya mereka lebih bebas dan ketiganya berada dalam satu frame.
Tetapi apa yang terjadi? Reaksi yang saya terima sungguh berbeda dengan apa yang saya alami lima tahun lalu di Dubai. Salah seorang dari perempuan muda yang memegang ponsel kamera berkata, “Makasih, Mas, bukan menolak lho ya. Kalau nggak foto selfie, gaya kami kampungan jadinya. Selfie itu seni, Mas, menghasilkan gaya yang beda dengan foto biasa!”
Wah, saya malah kena ceramah. Saya mengiyakan dan bahkan meminta maaf karena mungkin telah mengganggu aktivitas pengambilan gambar diri mereka.
Dari peristiwa ini saya paham, selfie atau groofie saat itu sudah masuk ranah privasi. Seseorang atau sekelompok orang tidak mau diganggu dan bahkan tidak bersedia ditolong orang lain kalau sedang selfie atau groofie. Ia atau mereka lebih suka mengambilnya sendiri, lewat jepretan kamera ponsel menggunakan fitur “switch camera” atau bantuan “tongsis” alias tongkat narsis. Jadi memang benar, persoalannya bukan tidak mau ditolong, sebab kalau dilakukan oleh orang lain bukan selfie atau groofie namanya.
Sebenarnya apa itu selfie? Apa pula groofie? Apa bedanya? Pernahkah Anda mendengar istilah dronie? Nah, apalagi ini!?
Sering orang menggampangkan dengan hanya menyebut selfie untuk foto diri yang diambil sendiri dan foto ramai-ramai yang diambil salah satu di antara yang ada di dalam frame itu. Padahal beda. Selfie ya hanya sendiri. Dia sendirilah yang menggambil gambarnya alias “swafoto”. Sedangkan groofie lebih dari satu orang. Dua orang saja mengambil foto diri mereka oleh salah satu di antaranya sudah disebut groofie, bukan selfie lagi.
Jonathan Keller, kalau mau menyebut nama, adalah pelaku selfie yang paling spektakuler. Ia mulai memotret wajahnya secara selfie sejak tahun 1998 hingga tahun 2015 ini. Sepanjang 17 tahun, ia memotret sendiri perubahan wajahnya setiap hari dengan ekspresi yang sama. Artinya, selama 17 tahun itu ia sudah menghasilkan lebih dari 6.000 foto selfie dan “gilanya” lagi, ia akan terus melakukan selfie sampai meninggal dunia.
Selfie sendiri merupakan singkatan dari self potrait. Boleh jadi dalam bahasa Indonesia kata yang tepat untuk selfie adalah “swafoto” itu tadi. Memang tidak terlalu seksi dibanding kata “selfie”, tetapi demikianlah padanannya kalau kita cinta bahasa Indonesia. Di Korea Selatan selfie dikenal dengan kata “selca”, kependekan dari “self camera”. Mana yang mau Anda pakai? Ya, suka-sukalah, tergantung selera. Selfie tentu saja terkait langsung dengan kamera, bukan benda lain. Bisa kamera manual yang memiliki fitur “self-timer”, kamera digital yang lebih adaptif terhadap selfie, dan sekarang yang paling umum ponsel berkamera atau smartphone.
Jika Jonathan Keller melakukan selfie untuk sebuah eksperimen pribadi, yakni melihat perubahan wajahnya dalam pose yang sama dari hari ke hari, sekarang orang melakukan selfie untuk berbagi. Barangkali juga untuk narsis. Jarang ada orang, khususnya remaja dan anak-anak muda, melakukan selfie atau groofie untuk di “keep” sendiri. Pasti untuk dibagikan melalui situs pertemanan, khususnya yang berplatform fotografi. Maka Instagram, Path, Flickr, MySpace atau Facebook, menjadi pilihan pelaku selfie dan groofie.
Menarik adalah memperhatikan gaya seseorang yang sedang selfie atau groofie, baik menjulurkan tangan ke depan mengarahkan mata kamera ke wajahnya atau menggunakan bantuan tongsis. Pasti bukan ordinary atau konvensional, tetapi gaya yang extraordinary; aneh bin nyleneh. Pokoknya gaya yang tidak biasa. Mulut dibikin monyong, mata berkedip genit, lirikan yang tajam, tawa yang lebar, atau sebaliknya, pose wajah bertekuk tanpa senyum. Pokoknya se-lebay mungkin. Anehnya, foto-foto inilah yang kemudian disebar dan dibagikan di media sosial. Buat sekadar lucu-lucuan atau seru-seruan, sebab setelah itu ramai-ramai komentar datang. Demikianlah sensasi selfie.
Menurut sebuah penelitian yang dipimpin Petya Eckler dari Universitas Strathclyde, Glasgow, Skotlandia, selfie bukan sekadar bertujuan mengabadikan momen. Orang yang kerap melakukan selfie, demikian simpul penelitian yang dirilis tahun lalu itu, memiliki perasaan negatif terhadap citra tubuhnya, khususnya kaum perempuan. Dengan kata lain, perempuan yang melakukan selfie khawatir dengan tubuh mereka. Akibat kekhawatiran ini, mereka berulang kali dan terus-menerus mengoreksi bagian wajah yang mereka anggap tidak atau belum sempurna sebelum kemudian mengunggahnya ke media sosial. Ya, hanya ke media sosial, sebab media inilah yang menumbuhkan selfie maupun groofie. Apakah hal itu bisa dikatakan bahwa selfie dilakukan oleh orang-orang yang galau, narsis, dan tidak percaya diri dengan cara menggunakan foto selfie tersebut untuk mencari tahu pendapat orang lain mengenai dirinya? Atau dimakdukan ingin tahu apa pendapat orang lain tentang bentuk wajah atau tubuhnya?
Bisa benar, bisa tidak. Akan tetapi, memang ada sebagian pelaku selfie yang berusaha memperbaiki citra wajahnya dengan fitur “beautiful” sebelum diunggah ke media sosial. Pemerintah Kerajaan Thailand pernah melarang pemuda-pemudinya melakukan selfie dengan alasan mengurangi pemimpin yang berkualitas di masa mendatang dan menghambat kreativitas. Ada-ada saja. Anda yang suka selfie atau groofie harus berterima kasih kepada Robert Cornelius. Pria berkebangsaan Amerika yang merupakan perintis dalam fotografi inilah yang tercatat dalam sejarah karena memotret ekspresi dirinya sendiri pada tahun 1839 atau 176 tahun lalu. Apa yang dilakukan Cornelius sebenarnya lebih karena “kecelakaan”. Proses pengambilan foto melalui kameranya berjalan lambat, sekitar satu menitan, dari mulai menekan tombol “on” sampai terdengar bunyi “jepret”. Durasi satu menit inilah yang kemudian ia gunakan untuk mengambil fotonya sendiri. Kamera portable besutan Kodak bernama “Brownie” kemudian menghaluskan pengambilan foto selfie ini.