Follow Us

Jangan Sampai “Earphone” Bikin Orang Terlihat “Oon”

Pepih Nugraha - Sabtu, 30 Mei 2015 | 13:14
Ilustrasi.
Blisstree

Ilustrasi.

Oleh: Pepih Nugraha, jurnalis penggiat media sosialSeorang rekan sekantor berjalan santai di suatu pagi. Karyawati. Cantik pula. Ia melewati saya dan rekan-rekan lainnya yang sedang ngopi di kafe kaki lima. “Alex”, demikian nama warkop terbuka beratapkan langit di mana kami biasa menyeruput kopi hitam atau susu jahe dengan harga di bawah lima ribu rupiah sebelum bekerja. Sebuah ritual biasa.Ketika melihat seorang rekan sekantor berjalan, rekan saya menyapa antusias, “Hai!” Bukan karena dia ingin tebar pesona, melainkan karena merasa menyapa bagian dari silaturahmi sejak zaman purba, apalagi terhadap orang yang dikenalnya dengan baik, bahkan sering berinteraksi dalam lingkup kerja sehari-hari dalam satu ruangan yang sama.Apa boleh buat, rekan kerja saya itu langsung kecewa berat. Soalnya, sama sekali tidak ada reaksi dari orang yang disapanya. Karyawati itu melenggang saja, tidak menggubris sapaan yang sejatinya adalah dari boss-nya sendiri. “Wah, lama-lama dia bisa jadi kuda tuli,” celetuk rekan saya kemudian. Jengkel barangkali. Saya tertawa ngakak. Ironis. Mungkin juga paradoks!Lantas segumpal tanya mengental dalam benak saya; curigakah karyawati itu atas sapaan teman saya yang memang, maaf, berpenampilan lumayan “sangar” itu? Sombongkah dia? Ah, masak iya harus sombong sama boss sendiri? Atau dia memang tidak tahu ada seseorang yang menyapanya? Boleh jadi ia tak acuh dan tak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Tetapi, apa gerangan penyebabnya?Oalah... penyebabnya ternyata sepasang earphone, alat elektronik untuk mendengarkan musik yang tersumpal di kedua lubang telinganya. Boleh jadi “tape recorder” pemutar musik hanya berupa smartphone, iPod, MP3 player atau apalah, yang disembunyikan di balik kantongnya. Inilah biang keladinya.... earphone!Dengan alat elektronik mungil itu ia menjadi asyik sendiri secara otomatis, meski saya yakin ia bukan seorang penderita autis. Karyawati itu menjadi punya “sikap mendua” atau “kepribadian ganda” tatkala teknologi, sekecil apapun bentuk dan fungsinya, menguasai dirinya. Sekecil apapun perangkat dan bentuknya, earphone tetaplah sebuah teknologi, hasil rekayasa para insinyur atau inventor.Sejak Nicholas Negroponte menulis buku Being Digital (1995) yang lebih merupakan telaah futuristik di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi, kehadiran teknologi selalu dibahas dari dua sisi; manfaat dan mudarat. Dua sisi yang saling bertentangan diametral. Setahun sebelumnya, saya menyaksikan sendiri, seseorang tanpa identitas tewas mengenaskan tertabrak kereta rel listrik di rel sebelum Stasiun Palmerah. Di telinga korban, lagi-lagi tersemat earphone untuk mendengarkan musik.Saya yakin, saat Nathaniel Baldwin menciptakan cikal bakal earphone yang disebut headphone, ia terdorong oleh niat baik agar alat yang diciptakannya lebih praktis dan bermanfaat besar bagi kehidupan manusia. Bukan sebaliknya; yaitu mendatangkan mudarat. Bahwa dari dua contoh peristiwa tadi terkesan dengan hasil negatif, jangan salahkan Baldwin. Penggunanya itu sendirilah yang seharusnya tahu takaran, tempat, situasi, dan paham kapan menggunakan barang elektronik kecil itu secara tepat.Dari dua contoh dengan dua peristiwa berbeda itu dapat disimpulkan, earphone bisa menjadi pembawa petaka dan karenanya cuma mendatangkan mudarat. Padahal bisa dipastikan, saat cikal-bakal alat elektronik kecil itu diciptakan Baldwin, si pencipta memperuntukkannya sebagai benda yang bermanfaat buat kehidupan manusia.Kalau alat elektronik itu bisa membunuh seseorang karena tidak mendengar gemuruh suara kereta rel listrik di belakangnya, bukanlah salah si pencipta tentunya. Ya, salah si pengguna itulah. Juga terhadap karyawati yang asyik mendengar musik sambil berjalan menuju kantornya sehingga tidak sadar ada boss yang menyapanya, juga bukan salah si pencipta earphone. Si karyawati itulah yang kurang paham kapan earphone harus digunakan. Bukan untuk digunakan di sepanjang langkah perjalananannya, sehingga alat itu telah “membutakan” mata, “membekukan” rasa, dan “menulikan” pendengarnya terhadap keadaan sekelilingnya.Earphone selain “membutakan” mata, “membekukan” rasa, dan “menulikan pendengaran, juga telah mengubah gaya hidup seseorang, khususnya di kalangan anak muda. Boleh jadi si karyawati itu sangat sopan kalau tanpa earphone tersumpel di kedua lubang telinganya. Tetapi ketika alat kecil itu telah menguasainya, sikap sopan berubah menjadi tak acuh dan bahkan terkesan sombong.Di sisi lain, dengan alat elektronik itu anak-anak remaja tidak lagi repot-repot harus menenteng tape bertenaga baterai untuk sekadar bisa breakdance di jalanan atau ruang terbuka. Sekarang cukup menyematkan earphone yang terkoneksi secara nirkabel ke sebuah smartphone, iPod atau MP3 player, anak-anak sudah bisa melakukan beragam jenis street dance seperti shuffle, popping, tutting, dan dubstep dengan leluasa. Menyenangkan sekali, bukan?Saat era walkman masih merajalela sampai akhir tahun 1990-an dengan kaset pemutar lagu di dalam tape sebesar telapak tangan yang tersemat di pinggang, gaya hidup remaja diprediksi akan berubah, meski saat itu alat yang sama masih disebut headphone itu tadi. Tidak seperti earphone yang tersumpal pada lubang telinga, headphone melengkung di kepala dengan dua loud speaker kecil menutup telinga kira-kanan. Sungguh mencengangkan bahwa perubahan gaya remaja itu akibat dari alat elektronik mungil bernama headphone dan kemudian earphone.Masih serupa headphone atau earphone, beberapa pengguna smartphone sekarang memanfaatkan handsfree. Bedanya, handsfree hanya berupa microphone tunggal untuk satu telinga saja. Kalau saya perhatikan, orang yang menggunakan handsfree seperti orang gila keren yang sedang berbicara sendiri, setidak-tidaknya berbicara pada dirinya sendiri, karena tidak tampak lawan bicara di dekatnya. Lawan bicaranya ada tetapi nun jauh di sana di suatu tempat, menggunakan perangkat komunikasi yang sama, yaitu ponsel alias telepon seluler.Sama seperti karyawati tadi, kadang pengguna handsfree juga lupa akan orang di sekelilingnya. Ia menjadi cuek dan seperti hidup dalam dunianya sendiri. Kadang saya mau menyingkir saja dari pengguna handsfree itu, sebab jangan-jangan ia gila betulan.Dalam beberapa tahun ke depan, separuh penduduk bumi diperkirakan telah masuk ke dunia virtual karena tersambung ke internet. Mereka terseret ke dunia maya dan seperti tidak berdaya menghadapi serenceng aktivitas online berbasis internet yang dilakukannya. Lama-lama manusia bisa menjadi budak dari teknologi yang diciptakannya. Benarkah demikian?Untuk melawan hegemoni dunia maya dan agar tidak terperangkap menjadi budak dari teknologi, sudah sewajarnya manusia sebagai makhluk sosial (homo sosiocus) memanfaatkan ruang publik di dunia nyata untuk saling menyapa, saling bertegur-sapa, saling berinteraksi, dan berbicara satu sama lain tanpa sekat virtual. Saya jamin, di sana bakal terjadi kehangatan, emosi yang terlihat dan terukur, ekspresi lugas dan menyenangkan yang tidak sekadar digambarkan sebagai emoticons.Manusialah yang seharusnya mengambil manfaat besar dari kehadiran teknologi, bukan malah teknologi yang mengadali manusia. Jangan sampai headphone atau earphone bikin orang jadi terlihat “oon” alias bloon.

Editor : Reza Wahyudi

Latest