Dosen ITB Bikin Ventilator, Baru Sadar Mafia Kesehatan Bikin Harga Komponennya 10 Kali Lebih Mahal

Kamis, 02 Juli 2020 | 19:25
(KOMPAS.com/RENI SUSANTI)

Pencipta Vent-I, Syarif Hidayat (kemeja putih) tengah melihat proses pengerjaan ventilator portable.

Nextren.com - Syarif Hidayat menyunggingkan senyum. Ia menyenderkan punggungnya di sofa ruang kerjanya, di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ia teringat saat tenaga dan pikirannya dikuras saat menciptakan Ventilator Indonesia (Vent-I).

“Di sinilah saya menghabiskan waktu hampir 6 minggu saat menciptakan Vent-I. Tidur hanya 4 jam di sofa ini setiap malam,” ujar Syarif kepada Kompas.com, Senin (29/6/2020).

Sofa berwarna hitam itu menjadi saksi bagaimana kerja keras Syarif di tengah cibiran, kesulitan bahan material karena Covid-19, hingga keterbatasan dana.

Baca Juga: Kacau! Pengembang Facebook Bisa Akses Data Pengguna yang Tidak Aktif

Berawal dari Tantangan

Syarif menceritakan awal mula Vent-I tercipta.

Saat itu, menyusul kebijakan work from home (WFH) dari pemerintah, ITB memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Diikuti dengan Masjid Salman ITB yang menutup kegiatan masjid sementara waktu untuk memutus rantai penularan virus corona.

Sepulang rapat dari Salman ITB, ia bertemu dengan alumni ITB yang masuk ke dalam tim Gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam penanganan Covid-19.

“Dia bertanya, pak bisa bikin sprayer? Saya jawab bisa. Kalau bikin ventilator? Saya jawab, nanti saya pelajari dulu. Jadi ucapan ventilator itu datang dari dia,” tutur Syarif.

Baca Juga: Fitur Baru Instagram Bisa Tampilkan Semua Stories di Satu Halaman

Keesokan harinya, Syarif baru mengatakan dirinya bisa membuat ventilator.

Sebagai insinyur, ia punya keyakinan. Apapun yang bisa dibuat manusia, maka ia bisa membuatnya.

Syarif kemudian menugaskan stafnya untuk membeli komponen ventilator.

Dari sana ia tersadar, mafia di alat kesehatan luar biasa.

“Kalau daging impor, harganya naik 4 kali lipat. Tapi kalau alat kesehatan (alkes) bisa 10 kali lipat."

"Saya makin bertekad untuk membuatnya tanpa menggunakan rantai pasok alkes,” ungkap Syarif.

Baca Juga: Ventilator Portabel Vent-I Karya Anak Bangsa Lolos Uji dan Siap Produksi Masal untuk Pasien Covid-19

Bertemu dokter Unpad

Ia mencoba mengembangkan ventilator dengan alat seadanya.

Karena tidak memungkinkan, ia mengajukan dana pada Salman Rp 50 juta sebagai modal awal pembuatan ventilator.

Setelah jadi, ia memosting prototype ventilator dan memostingnya di media sosial.

Lalu ia tulis membutuhkan dokter untuk mereview ventilatornya.

Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan dokter anestisi, Ike Sri Rezeki dari Unpad.

Baca Juga: Stiker Animasi di WhatsApp Akan Meluncur Minggu Besok, Seperti Apa?

(DOK. LAMAN ITB/PRIBADI)
(DOK. LAMAN ITB/PRIBADI)

Syarif Hidayat, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) saat uji coba purwarupa produk ventilator darurat yang diberi nama Vent-I (Ventilator Indonesia).

Dengan tegas Ike mengatakan, rancangan Syarif bagus dan banyak.

Namun yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah Continous Positive Airway Pressure (CPAP).

CPAP adalah satu fungsi paling sederhana pada ventilator untuk memberikan tekanan positif pada paru-paru agar terus mengembang, tidak kuncup.

Ini penting, karena Covid-19 menghasilkan lendir yang membuat paru-paru tidak bisa menerima oksigen.

Baca Juga: ROG Phone III Bakal Dirilis Tanggal 22 Juli di Acara ROG Game Changer

“Saya bimbang, karena yang dipakai alat sederhana, tidak menantang banget. Karena yang saya buat terbilang canggih."

"Tapi dalam ekosistem inovasi, voice of customer sangat penting. Makanya saya libatkan dokter,” ucap dosen ITB ini mengungkapkan.

Ia akhirnya menyetujui permintaan Ike.

Meski terbilang sederhana, prosesnya tidak mudah.

Kondisi pandemi membuat material yang dibutuhkan sulit ditemukan.

Apalagi material yang berasal dari luar negeri, terkendala juga oleh pengiriman sehingga tidak bisa dipastikan akan sampai kapan.

Baca Juga: Skor Xiaomi POCO M2 Muncul di GeekBench, Meluncur 7 Juli 2020

Rela dicibir, hingga menangis karena alat rusak

Syarif kemudian memutuskan membuat material yang dibutuhkan.

Misal dalam pembuatan pompa. Ia mencari produk yang ada di Indonesia dan tidak berebut.

Pilihannya jatuh pada pompa peniup kasur.

Ia modif pompa peniup kasur dengan motor yang biasa digunakan drone.

Baca Juga: Meski Pajak Sudah Berlaku, Harga Game Steam Masih Tetap Sama Kok!

Kemudian, alat itu akan dilengkapi dengan venting. Semua proses ini sempat dicibir.

Syarif dan timnya dinilai tidak akan mampu menyelesaikan ventilator.

Ada juga yang bilang, Vent-I sebagai proyek “mission impossible”.

Namun keraguan sejumlah pihak itu tidak dihiraukannya.

Ia terus maju, walaupun diisi dengan air mata.

“Pasien Covid harus dirawat 14 hari, maka minimal alat saya harus mampu bertahan 14 hari. Tapi begitu dicoba, hanya tahan 2 hari 2 malam."

Baca Juga: Duh, BBM Premium dan Pertalite Bakal Dihapus dan Diganti Pertamax ke Atas!

"Saya perbaiki, ganti material, eh 12 jam rusak. Nangislah saya, gimana bisa nolong orang,” tutur dia.

Setelah menangis, ia pun bangkit dan kembali terus mencoba, hingga produknya berhenti diujicoba setelah melewati 21 hari.

Bahkan Vent-I dinyatakan lolos uji semua kriteria uji, sesuai dengan standar SNI IEC 60601-1:204: Persyaratan Umum Keselamatan Dasar dan Kinerja Esensial dan Rapidly Manufactured CPAP Systems, Document CPAP 001, Specification, MHRA, 2020.

Vent-I menggunakan mesin ventilator Positive End-Expiratory Pressure (PEEP), agar mudah dioperasikan baik oleh dokter ataupun perawat.

Baca Juga: Bikin Bangkrut! Biaya Perawatan Pasien Covid-19 Jika Ditanggung Sendiri Hingga Rp 290 Juta Seorang

Bahkan Vent-I bisa dibawa pulang. Harganya pun jauh lebih rendah.

Harga ventilator portable di pasaran dunia dijual Rp 30 juta-70 juta.

Sedangkan Vent-I dijual Rp 18 juta.

“Vent-I juga sudah dipatenkan, dari 8 ada 5 yang sudah dipatenkan,” ucap dia.

Baca Juga: Vivo Akan Bawa Seri X ke Indonesia, Janjikan Kamera Hape Kelas Profesional

Tidur di masjid

Dokter ahli petir ini mengatakan, pengembangan Vent-I menghabiskan waktu 6 minggu.

Selama itu, ia memilih meninggalkan rumah dan tidur di ruang kerjanya di Masjid Salman.

Ia memanfaatkan ruang kerjanya yang kecil untuk mengembangkan idenya dan menggunakan sofa hitam untuk tempat tidurnya.

Setiap malam, ia hanya tidur sekitar 4 jam.

Waktunya lebih banyak digunakan untuk pengembangan Vent-I.

Dalam perkembangannya, beberapa ruangan di Salman ITB diubah menjadi bengkel Vent-I.

Baca Juga: Ini Bahaya TikTok, Bisa Intip Password dan Rekening di Memori Hape

Mulai dari ruang serba guna, kelas, hingga kantin.

Sejumlah kampus pun ikut membantu, seperti ITB, Unpad, Polman, Polban, sejumlah SMK, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan lainnya.

Kumpulkan dana dari masyarakat

Saat ini, tim sedang membuat 850 Vent-I yang akan dibagikan gratis ke rumah sakit di Indonesia.

Dari jumlah itu, sebagian Vent-I sudah disebar, terbanyak di Pulau Jawa.

“Dana pembuatan Vent-I berasal dari dana masyarakat. Bisa dibilang masyarakat yang membeli 850 Vent-I ini atau lebih dari Rp 10 miliar,” tutur Syarif.

Baca Juga: Inilah Deretan Seri Lawas Oppo yang Bakal Bisa Update ke ColorOS 7

Syarif menjelaskan, saat Vent-I ini dikembangkan, banyak teman yang tertarik ingin menyumbang untuk membantu pasien.

Kemudian Salman membuat crowd funding untuk pembuatan Vent-I hingga terkumpul dana Rp 10 miliar lebih.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul"Kisah Dosen ITB Bikin Ventilator Indonesia, Rela Dicibir, Tidur di Masjid, hingga Dapat Dana Rp 10 M" Penulis : Kontributor Bandung, Reni Susanti

Tag

Editor : Wahyu Subyanto