Follow Us

Ojek Online Terbukti Tingkatkan Pendapatan, Tapi Terganggu Ojek Fiktif

Wahyu Subyanto - Rabu, 06 Juni 2018 | 14:01
penumpang Gojek
Gojek

penumpang Gojek

(BACA : Deretan Program XL Sambut Fenomena Ramadan, Mudik dan Lebaran )Maka, subyek hukum pelaku order fiktif bisa dipidana dengan dijunctokan kedalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dilihat dari semua unsur-unsur pasal 378 KUHP maka tindakan subyek hukum pelaku dalam perbuatan order fiktif memenuhi semua unsur dalam pasal tersebut.

Pentingnya Penegakan HukumPengamat siber Pratama Persadha mengatakan, pentingnya sosialisasi yang masif untuk membuat gerakan melawan ojek fiktif serta mendorong adanya solusi lain yakni penggunaan sertifikat digital.“Saat ini memang penggunaan sertifikat digital dalam kepentingan e-commerce belum mempunyai tata perundangan dan tata kelola yang matang.""Namun demikian sudah terlihat upaya dari pemerintah untuk menerapkan sertifikat digital dalam transaksi elektronik,” tandas Pratama di sela-sela diskusi media yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) dan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), yang digelar di Hotel Kartika Chandra, Jakarta (5/6/2018).

(BACA : Foto-Foto Asus ROG Phone, Hape Game Terbaru yang Gahar Banget )Dengan adanya sertifikat digital ini, menurut Pratama maka diharapkan proses otentifikasi dan otorisasi semakin ketat dan kuat.Hal itu akan berujung semakin aman dan terpercayanya transaksi elektronik, termasuk untuk penggunaan aplikasi transportasi online dan sejenisnya. Sementara itu, Bhima Yudistira, pengamat ekonomi INDEF mengatakan bahwa maraknya “Tuyul dan ojek fiktif akan berimbas pada kerugian industri, baik secara material maupun sistem. Pada ujungnya akan membuat kerugian besar bagi industri dan perekonomian secara global,” ungkap Bhima.“Saya mencatat dari pemberitaan di media massa, imbas kerugian ojek fiktif bisa mencapai miliaran rupiah."

"Jika tidak ada solusi yang tepat, ini akan membuat industri tidak sehat,” ungkap Bhima.

(BACA : Trik Mudah Bobol Fitur Face Unlock Hape OnePlus 6 Terungkap, Mau Coba? )

Sementara itu, Muslih Zaenal Asikin dari Masyarakat Transportasi Indonesia memandang pentingnya tindakan tegas oleh penegak hukum dalam memberantas ojek fiktif dan “Tuyul”.Perlu pula kampanye dan penyadaran hukum kepada para driver bahwa tindakan Ofik dan “Tuyul” adalah tindakan melawan hukum yang memiliki konsekuensi hukum. “Ojek fiktif dan “Tuyul” itu masuk dalam kategori penyakit masyarakat, masuk dalam kategori pencurian dan penipuan. Kondisinya saat ini sudah masuk kategori darurat. Untuk itu perlu sinergi berbagai pihak dalam memberantas para sindikat tersebut.

(BACA : Cara Memperbaiki Autentikasi Google Play Error, Tanpa Factory Reset )Karena mereka itu, diindikasikan tidak hanya dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh jaringan sindikat,” ungkap Muslih.Selain sertifikat digital, pemerintah juga didorong untuk merumuskan UU Perlindungan Data Pribadi agar setiap perusahaan dan instansi yang menyimpan dan memproses data penduduk wajib menyediakan sistem yang unggul dan aman.Pratama Persadha mencontohkan Uni Eropa (EU) yang telah mengaktifkan GDPR (General Data Protection Regulation).GDPR adalah peraturan mengenai Data Privacy yang diterapkan bagi seluruh perusahaan di dunia yang menyimpan, mengolah atau memproses personal data penduduk EU.Tujuan dari GDPR adalah memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap kerahasiaan data (data privacy) dalam ekonomi digital saat ini.

(BACA : Sharp A Click, Hape Jepang 4 Kamera Rp 3 juta Dijual di Indonesia )

Caranya dengan memberikan keleluasaan lebih bagi individual terhadap datanya dan memberikan peraturan yang lebih ketat kepada pihak yang mengelola atau menyimpannya.Peraturan ini akan efektif pada 25 Mei 2018 di seluruh dunia. Seluruh perusahaan di tanah air, termasuk perusahaan transportasi online wajib memenuhi GDPR saat ada warga EU yang menjadi member aplikasi tersebut.Solusi untuk Perusahaan AplikasiDengan fenomena maraknya penyerangan (hacking) pada sistem pembayaran transportasi online, perusahaan aplikasi harus meningkatkan sistem keamanan mereka. Menurut Pratama, kelemahan-kelemahan di aplikasi harus segera ditutup agar perusahaan bisa menjalankan bisnis secara sustainable. Ia menyarankan pengaplikasian enkripsi karena bisa mencegah terjadinya pencurian data, manipulasi data dan terutama order fiktif akibat peretasan.

(BACA : Apple Kenalkan Memoji, Pesaing Berat AR Emoji Samsung Galaxy S9 )Enkripsi bisa dipadukan dengan teknologi otentikasi iris scanner, sidik jari bahkan lebih ekstrim lagi dengan digital signature. Setiap lalu lintas data memerlukan otentikasi atau persetujuan tambahan dengan sistem tersebut.“Enkripsi diaplikasikan pada seluruh sistem, baik di server, maupun di aplikasi driver serta penumpang."

"Bagi driver otentikasi ini juga bisa digunakan untuk menjaga saldo mereka tetap aman,” kata Pratama.Sedangkan cara terbaik untuk menghindari Fake GPS, tambah Pratama, adalah membangun sebuah aplikasi dengan menggunakan HAL (Hardware Abstraction Layer).

(BACA : 7 Meme THR yang Bikin Ngakak dan Merasa Senasib Sepenanggungan )Dengan pendekatan ini, hardware GPS langsung berkomunikasi dengan “APPS”. Contoh aplikasi yang memakai HAL adalah WeChat dengan alasan keamanan Negara (Tiongkok).Cara lain adalah membangun aplikasi GPS sendiri, ditambah dengan enkripsi sebagai pengamannya. Contohnya aplikasi GPS X (buatan sendiri) tersebut melakukan enkripsi sebelum mengirimkan informasi ke aplikasi driver dan penumpang. Aplikasi driver dan penumpang disetting hanya bisa menerima aplikasi GPS X tersebut, sehingga fake GPS tidak bisa digunakan. Fungsi enkripsi di sini adalah melindungi informasi agar tidak bisa dimanipulasi.Bahkan jika perusahaan aplikasi mengalami kendala untuk menambal lubang keamanan, maka pemerintah didorong untuk ikut campur tangan. “Bila perlu pemerintah membangun aplikasi GPS sendiri yang bisa digunakan oleh seluruh developer lokal, dengan fitur anti fake GPS,” ujar Pratama. (*)

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya

Latest