Yang menjadi masalah ialah perusahaan telko tak hanya melakukan FMC tetapi juga mengembangkan 5G yang dimana bisa membengkakkan biaya.
"Pasar global FMC diperkirakan naik cukup besar pada 2023-2028 terutama di Eropa, Asia Pasifik dan Amerika Utara. Banyak negara sekadar satukan fixed dan mobile hanya karena faktor kompetisi, selain itu di banyak negara lain yag pemain telkonya enggak begitu, banyak mereka bermain di sisi diskon (harga)," ujar Heru.
Maka dari itu Guntur mempertanyakan kepada perusahaan telko agar langkah yang diambil menjadi lebih matang.
"you (perusahaan telko) mau FMC beneran atau pergi aja ke 5G, 6G, 7G, kemudian lakukan service bundling? Gak perlu akuisisi perusahaan, service bundling aja dengan cable broadband operator itu pertanyaannya,"
"Kalau idealnya tadi menurut AI, ya FMC, tapi dari sisi bisnis butuhkah pelanggan? atau rutenya, rute baru seperti Jio," ungkap Guntur.
Baca Juga: Telkomsel Luncurkan Orbit MiFi, Modem Portabel dengan Paket Data Murah
Jio sendiri merupakan perusahaan telekomunikasi dari India, yang menjadi contoh oleh Guntur, karena dikatakan paling mengerti.
Jio itu menurutnya merusak semua tantangan, tapi karena perusahaan tersebut tidak memiliki legacy cost maka bisa rusak.
Harga layanan yang ditawarkan oleh Jio termasuk murah, 56GB untuk layanan internet seluler bisa didapatkan dengan harga hanya 50 ribu Rupiah.
Bahkan waktu launch mereka menghadirkan kuota internet gratis 1GB dan membuat masyarakat India langsung berlangganan.
Baca Juga: Pertumbuhan XL Axiata 2022: Trafik Naik 22 Persen, Laba Bersih Rp 1,1 Triliun
Untuk layanan cable broadband-Nya dengan 30mbps, pengguna hanya membayar 100 ribu Rupiah, layanan on-demand TV gratis.