Nextren.com - Sukses menembus level US$ 11.000 per btc (sekitar Rp 161,6 juta), harga bitcoin diprediksi bakal awet di posisi tersebut hingga awal tahun depan.
Kondisi global yang kurang menguntungkan menjadi alasan utama yang membatasi kenaikan mata uang kripto tersebut.
"Sebenarnya, sampai dengan kemarin malam BTC masih bergerak dengan tren bear karena pengaruh tweet Presiden Amerika Serikat (AS) tentang stimulus, tapi ternyata harga BTC break ke level US$ 11.000 per btc hari ini," ungkap Chief Operating Officer (COO) Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda, Jumat (9/10).
Sementara itu, adanya halving day di pertengahan 2020 lalu, tidak otomatis langsung menaikkan harga bitcoin.
Baca Juga: Lyfe, Crypto Asli Indonesia Sang Pesaing Bitcoin Naik Harga 200 Persen Dalam Sehari
Baca Juga: Bank Pusat Venezuela Disarankan untuk Menyimpan dan 'Hodl' Bitcoin
Dia menekankan bahwa dampak halving day baru akan terasa 10 bulan hingga 18 bulan setelah halving terjadi.
Selain itu, pergerakan harganya pun cenderung akan naik perlahan dan membentuk harga baru seperti saat ini, harga masih bergerak di rentang US$ 10.500 per btc hingga US$ 10.900 per btc.
Ke depan, beberapa sentimen seperti perkembangan pemilihan presiden AS juga bakal menjadi salah satu faktor jangka panjang bagi penggerak aset kripto.
Di samping itu, sentimen terkait rencana penggelontoran stimulus fiskal AS juga turut menjadi perhatian bagi prospek harga bitcoin.
Adapun terkait kabar Inggris melarang transaksi bitcoin, Manda menilai sentimen tersebut hanya berdampak minim bagi pergerakan bitcoin ke depan.
Mengingat, larangan hanya ditujukan untuk transaksi derivatif yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mayoritas transaksi di pasar spot.