Layanan pengiriman makanan "Delihome" menjadi representatif startup dari Surabaya untuk unjuk gigi di Silicon Valley, AS. Sebelumnya, startup yang didirikan Andree Wijaya, James Junianlie, dan Elisabeth Be tersebut telah memenangkan kompetisi "Startup Sprint".
Tim Delihome menjelajahi kiblat startup dunia selama empat hari. Mereka mengunjungi beberapa perusahaan dan inkubator level dunia seperti Google, Facebook, Code for America, WeWork Transbay, Start X, Startup Weekend, dan GSVLabs. Lalu, apa saja pelajaran yang mereka dapatkan di sana?
Pertama, startup hadir untuk menyelesaikan masalah.
Prinsip startup seyogyanya bertumpu pada keinginan menyelesaiakan masalah dan membantu banyak orang. Hal itu yang kembali didalami tim Delihome setelah berkunjung ke Code for America.
Inkubator tersebut memang dikenal kerap mendorong startup mengembangkan layanan pemerintah untuk diimplementasikan ke masyarakat luas.
Salah satu contoh startup bimbingannya adalah "BlightStatus", yakni aplikasi penyimpanan data masyarakat yang terkena bencana. Tujuannya mempermudah upaya pemerintah menyalurkan bantuan.
"Ini nilai pertama yang harus dimiliki semua pengusaha di Indonesia. Bikin startup itu bukan karena mau mencari uang, tapi untuk menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia," kata CFO Delihome James, sebagaimana tertera pada keterangan pers yang diterima Nextren, Jumat (5/2/2016).
Kedua, founder lebih signifikan daripada ide.
Saat berkunjung ke F50 (platform sindikat capital venture) dan Startup Weekend (program 54 jam membuat startup), tim Delihome semakin memahami bahwa peran co-founder adalah peran terpenting dalam mendirikan startup.
Bahkan, co-founder yang tepat lebih penting ketimbang ide startup itu sendiri. Menurut CMO Delihome Lisa, jika ide startup luar biasa bagus, namun tim yang menjalankan buruk, maka mereka tak akan ke mana-mana.
Ketiga, menciptakan budaya kerja yang mumpuni.
Tim Delihome belajar bahwa budaya kerja adalah hal yang konsisten dibangun dua raksasa teknologi, Google dan Facebook. Di Facebook misalnya, nilai "move fast and break things" dipegang kuat. Setiap orang didorong bergerak cepat sehingga menghasilkan sesuatu terus-menerus dengan cepat. Sementara itu, di Google, mereka memegang prinsip "don't be evil". Semua karyawan diajarkan untuk tidak tamak pada keuntungan, melainkan fokus pada kebutuhan orang yang lebih banyak. Budaya-budaya itu mampu menciptakan branding perusahaan yang kokoh.