Pengamat Sebut Ada 9 Pasal Karet yang Perlu Direvisi dalam UU ITE

Selasa, 16 Februari 2021 | 18:30
Freepik

Ilustrasi smartphone

Laporan wartawan Nextren, Fahmi Bagas

Nextren.com - Undang-Undang (UU) ITE kembali menjadi perbincangan masyarakat Indonesia.

Topik ramai dibicarakan oleh sejumlah netizen melalui berbagai platform, contohnya media sosial Twitter.

Di Twitter, topik UU ITE menjadi trending topik pertama pada hari Selasa (16/2).

Hal ini terjadi karena adanya pernyataan langsung dari Presiden Joko Widodo terkait kemungkinan mengajukan permintaan adanya revisi UU ITE ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Baca Juga: Ini Kata Pakar Virus Soal Pencurian Data di Akun WhatsApp

Presiden Jokowi menyatakan akan melakukan permintaan tersebut apabila implementasi UU ITE selama ini dirasa tidak adil.

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ucap Jokowi dikutip dari Kompas yang dihimpun dari Antaranews.

Berdasarkan pantauan Nextren, pro dan kontra yang timbul soal topik UU ITE ini pun telah mendapatkan perhatian dari salah satu pengamat.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengungkapkan sembilan pasal yang dinilai bermasalah dalam UU ITE.

Ungkapan tersebut dibeberkannya melalui sebuah cuitan yang diunggah menggunakan akun Twitter @DamarJuniarto.

Baca Juga: Konten Politik di Facebook Indonesia Segera Dibatasi, Jadi Sejuk Nih!

"Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum," tulisnya dalam sebuah tweet.

Lebih detil, ia pun membagikan empat foto yang berisikan 9 'pasal karet' yang dirasa perlu diatur ulang oleh Pemerintah Indonesia.

Salah satu pasalnya yang disebut oleh Damar adalah pasal 27 ayat 3 tentang defamasi.

Baca Juga: 3 Aplikasi Selain VTube yang Populer di Indonesia, Yuk Pahami Skemanya

Pasal ini dianggap sebagai salah satu alat untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivits, dan jurnalis.

Sebab di pasal tersebut membahas soal penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa dan sering digunakan untuk menuntut pidana para netizen yang memberikan kritik melalui dunia digital.

Berikut 9 pasal yang dianggap perlu direvisi, menurut Damar Juniarto, selaku Direktur Eksekutif Safenet:

1. Pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi

Dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.

2. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian

Bisa merepresi agama minoritas serta respresi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.

Baca Juga: Inilah 4 Upaya Pemerintah Mengatasi Serangan Siber di Dunia Digital

3. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan

Dirasa sebagai pasal bermasalah terkait sensor informasi.

4. Pasal 27 ayat 1 tentang asulia

Mampu menimbulkan masalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasa berbasis gender online.

Baca Juga: Ini Peran Industri Telekomunikasi untuk Ekonomi Digital Indonesia

5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan

Diduga bisa bermasalah lantara dapat digunakan untuk memenjarakan orang yang ingin lapor ke polisi.

6. Pasal 36 tentang kerugian

Dianggap dapat memberatkan hukuman pidana defamasi.

7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang

Pasal tersebut dianggap bermasalah karena bisa dijadikan alasan internet shutdown guna mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoaks.

8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses

Dirasa dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.

Baca Juga: Apa Itu WA GB? Aplikasi WhatsApp yang Menjadi Polemik di Twitter

9. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi

Dinilai dapat menimbulkan masalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Dari cuitan pengamat tersebut pun timbul sejumlah komentar lainnya dari netizen di jagat Twitter.

Berikut beberapa rangkuman cuitan yang Nextren kumpulkan:

So, gimana menurut kalian Sobat Nextren? apakah UU ITE perlu direvisi atau justru tidak perlu?

(*)

Tag

Editor : Kama