Nextren.com - Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva yakin perekonomian Indonesia dalam kondisi baik, tidak akan kena resesi. Pertumbuhan sebesar 5,01% pada triwulan 1 (T1) 2022, neraca perdagangan surplus selama 26 bulan, inflasi per Juni 2022 sebesar 4,35% secara tahunan (YoY – year on year), jadi alasan penilaiannya.Kena resesi atau tidak, kondisi ekonomi dunia saat ini sangat mengkhawatirkan. Salah langkah sedikit atau terimbas resesi China, atau Amerika Serikat yang risiko resesinya 40%, Indonesia bisa ikut kolaps. Tengok survei Bloomberg 6 Juli lalu, walau jauh panggang dari api terhadap kemungkinan resesi karena Indonesia masuk nomor 14 dan 15 negara.
Baca Juga: Ini Peran Industri Telekomunikasi untuk Ekonomi Digital Indonesia
Catatan Bloomberg, rata-rata potensi resesi negara Asia Tenggara adalah 10%, tetapi kawasan Asia Timur dua kali lebih tinggi, termasuk China, Jepang, Hongkong, Korea Selatan. Sri Lanka tertinggi dengan angka 85%, berpotensi terdampak resesi.Jepang dan Korea Selatan sama, 25%, lalu Hongkong, China, Australia, Taiwan dan Pakistan sama: 20%, Malaysia 13%, Filipina 8% dan Indonesia 3%, ditutup India dengan 0%.Alasan Bloomberg sudah jadi rahasia umum, pandemi Covid-19 ditambah gejolak ekonomi global akibat serangan Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Perang membuat rantai pasok pangan (gandum dan sebagainya) serta energi (BBM, gas) terputus yang berdampak naik tingginya harga BBM dan produk pertanian.Resesi parah pernah terjadi di Indonesia pada 1997 – 1998, ketika pertumbuhan ekonomi minus 13%, inflasi 88%, cadangan devisa 17 miliar dollar AS. Bisnis para pengusaha besar, kata Menteri Investasi Bahlil Lahadala pekan lalu runtuh, yang hidup dan berkembang justru UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah).Indonesia tiga tahun tidak impor beras. Tetapi seretnya pasokan hasil pertanian berdampak buruk, melambungnya harga BBM membuat sektor angkutan, terutama angkutan udara terpuruk lagi. Namun secara keseluruhan, ada denyut ekonomi yang menggeliat, tumbuh dari bawah didukung keberadaan UMKM.Catatan Kementerian Koperasi dan UKM, pada 2021 jumlah UMKM 64,19 juta, partisipasinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61,97% atau senilai Rp 8,6 triliun.
UMKM ikut memperbaiki ekonomi Indonesia dengan menyerap 97% persen tenaga kerja dan mengintegrasikan investasi sebesar 60,4%.
Baca Juga: Telekomunikasi Psikoantropologis, Pendekatan Baru Atasi Hambatan Pembangunan BTS di PapuaDigitalisasi UMKMTetapi ekonomi tidak berdaya tanpa digitalisasi yang menjadi unsur utama industri 4.0, baik itu UMKM, perbankan, perdagangan, transportasi. Sementara domain digitalisasi ada di industri telekomunikasi, bukan di perbankan walau uangnya punya bank, bukan di perdagangan walau logistiknya punya para saudagar.Kerja sama dengan UMKM, telekomunikasi membuat ekonomi tumbuh baik, meski catatan menyebutkan baru 12 juta dari 64,19 juta UMKM yang menikmati digitalisasi. Telkomsel membantu digitalisasi masyarakat secara luas karena menguasai 95% populasi, termasuk daerah 3T – terdepan, terluar dan tertinggal – dengan dukungan jaringan sebanyak 247.000 BTS.XL Axiata mendidik lebih dari 60.000 UMKM, yang 90% lebih dikelola kaum perempuan bertransformasi ke digitalisasi lewat program Sispreneur, hasilnya memperluas jangkauan pemasaran dan menambah pendapatan mereka. Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) selain itu membantu mencarikan pendanaan bagi UMKM yang membutuhkan, bekerja sama Bank QNB Indonesia.Kerja sama saling menguntungkan, dengan digitalisasi UMKM akan menyumbang pendapatan kepada operator dalam jumlah yang tidak sedikit. Acapkali pengelola UMKM lulusan kursus yang diadakan operator dibekali smartphone.Tetapi media masa pekan lalu mengulas kekhawatiran terjadinya resesi di industri telekomunikasi karena sarana dan prasarana teknologinya masih bergantung pada impor. Ketergantungan itu membuat capex (capital expenditure – biaya modal) operator menjadi tinggi, membuat mereka hati-hati dalam berekspansi.
Baca Juga: Konsolidasi Operator Songsong Cerahnya Bisnis IoT (Internet of Things)Dari sejarahnya, telekomunikasi (seluler) tidak mudah tertular resesi, bahkan menjadi penyelamat bangsa dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi dan kehidupan. Industri ini kebal dari pandemi atau resesi akibat perang, menyelamatkan bangsa dari kebangkrutan, ekonomi digital membuat kehidupan masyarakat bertahan, bahkan membaik.Pandemi memukul masyarakat dengan banyaknya perusahaan melakukan PHK, mematikan semangat orang karena semua lapangan kerja tertutup. Tetapi di sisi lain ekonomi rumah tangga justru jalan, UMKM tumbuh, yang membuat korban PHK yang kreatif tak ingin kembali ke tempat kerja semula.Teknologi Open RANIndonesia memang belum menguasai industri infrastruktur teknologi telekomunikasi yang padat modal. Tetapi teknologi baru, Open RAN (radio access network), misalnya, memungkinkan operator ekspansi dengan biaya lebih efektif dan efisien.Teknologi perangkat akses radio ini mengadopsi konsep antarmuka terbuka (open interface) memungkinkan operator menggunakan kombinasi perangkat radio, semisal unit radio dan baseband tanpa terikat pada vendor teknologi. Open RAN menurunkan beban perangkat dan operasional operator, mendorong tumbuhnya pemain baru pada industri perangkat akses radio yang didominasi penyedia teknologi dunia, Samsung, Ericsson, Nokia, Huawei.Selama ini operator harus membeli BTS (base transceiver station) komplet perangkat keras dan perangkat lunaknya. Open RAN membuat operator tidak perlu beli perangkat lunak yang bisa dipasok startup teknologi dengan harga jauh lebih murah, yang memperbesar kemampuan operator meluaskan jaringan sampai ke pelosok.
Baca Juga: Jaringan Fiber Optik Palapa Ring Timur Sudah Dibangun Ribuan KM, Menunggu Kesiapan Operator Seluler MasukPerkasanya telekomunikasi melewati pandemi bisa dilihat dari laporan keuangan mereka. Pendapatan PT Telkom, yang 75% lebih disumbang Telkomsel, di triwulan 1 (T1) berturut-turut tahun 2020, 2021 dan 2022 sebesar Rp 34,19 triliun, Rp 33,945 triliun dan Rp 35,208 triliun, labanya Rp 5,86 triliun, Rp 6 triliun dan Rp 6,12 triliun.Periode sama, IOH mendapat Rp 6,5 triliun, rugi Rp 605 miliar; lalu Rp 7,35 triliun, untung Rp 172,1 miliar, T1 tahun 2022 pendapatannya Rp 10,9 triliun, untung Rp 128,7 miliar.XL Axiata: Rp 6,5 triliun untung Rp 1,5 miliar; Rp 6,25 triliun untung Rp 302,5 miliar; T1 2022 mendapat Rp 6,74 triliun, untung Rp 139 miliar. Smartfren meraih pendapatan Rp 1,99 triliun, ruginya Rp 1,78 triliun; lalu Rp 2,4 triliun dan rugi Rp 396 miliar, dan T1/2022 raih Rp 2,68 triliun, labanya Rp 25 miliar.Nyata, pandemi dan resesi tidak membuat telekomunikasi bangkrut, bahkan jadi “bahan bakar” muncul dan berkembangnya UMKM dan usaha rumah tangga. Meski keuangannya sempat tertekan beban donasi data ke sekolah, universitas dan UMKM. Penulis: Moch S HendrowijonoMantan Wartawan Harian Kompas dan Pengamat Telekomunikasi