Ternyata Kerja Hybrid Bikin Rentan Terjadi Phising Hingga Data Bocor

Rabu, 30 November 2022 | 20:45
Tech - ThaiVIsa

Ilustrasi Hacker

Nextren.com - Pandemi memang mengubah berbagai kehidupan, salah satunya mengubah cara kerja di kantor jadi di rumah atau kerja di mana saja.

Namun berangsur membaiknya pandemi Covid-19 banyak kantor yang tidak melanjutkan kebijakan kerja secara hybrid

Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena ternyata kerja hybrid lebih rentan terhadap keamanan siber.

Semenjak pandemi berita mengenai data bocor juga kerap menjadi sorotan, terlebih saat beberapa kebijakan dari kominfo ditetapkan yang menyebabkan para hacker tidak tinggal diam.

Beberapa lalu nama hacker Bjorka mencuat karna membocorkan data pribadi Menkominfo, data My Pertamina serta data Peduli Lindungi, hingga nomor pengguna Whatsapp yang bisa bocor.

Mungkin data-data tersebut bisa bocor karena sistem kerja hybrid yang membiasakan karyawan mengakses data dari perangkat yang tidak terdaftar di platform kantornya.

Baca Juga: 5 Aksi Bjorka di Indonesia, Dokumen untuk Jokowi sampai Data SIM Card

Hal tersebur diketahui dari studi yang dilakukan Cisco melalui laporan yang berjudul "My Location, My Device: Hybrid work’s new cybersecurity challenge”.

Studi ini dilakukan pada 6.700 praktisi keamanan dari 27 negara, termasuk 150 praktisi keamanan dari Indonesia.

Laporan ini membahas mengenai kekhawatiran para praktisi keamanan seputar penggunaan perangkat yang tidak terdaftar dan jaringan ketika kerja hybrid.

Dari studi ini ditemukan sebanyak 87% responden di Indonesia bahwa kerjaa hybrid meningkatkan terjadinya insiden keamanan siber.

Menariknya 8 dari 10 orang atau sekitar 87% responden di Indonesia mengatakan bahwa karyawannya menggunakan perangkat yang tidak terdaftar pada platform kerjanya.

Bahkan karyawan yang mengaku menghabiskan lebih dari 10% harinya untuk bekerja dari perangkat yang tidak terdaftar sebanyak 65% responden.

Baca Juga: Keamanan Digital Indonesia Rentan Hacker, Pengamat: Masih Sangat Lemah

Penggunaan perangkat yang tidak terdaftar pada pada platform kerjanya memang merupakan tantangan.

Tantangan tersebut beralasan karena, ternyata lebih dari 5 dari 10 responden ataau sekitar 55% praktisi keamana di Indonesia pernah mengalami insiden keamanan siber dalam 12 bulan terakhir.

Bahkan akibat insiden keamanan siber merugikan 73% organisasi sekurangnya USD 100.000, dan juga merugikan 35% organisasi sebanyak USD 500.000.

Tiga jenis serangan keamanan siber yang paling banyak dialami adalah malware, phishing, dan kebocoran data.

Untuk mengatasi hal ini para pimpinan keamanan di Indonesia hendaknya meningkatkan anggaran keamanan siber lebih dari 10% pada tahun mendatang.

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya