NATO Pecah! Kanselir Jerman Amuk Turki karena Gabung Sekutu Rusia dan China

Rabu, 21 September 2022 | 10:30
DW

Kanselir Jerman Olaf Scholz dan Presiden Turki Tayyip Erdogan

Nextren.com -Persatuan aliansi NATO kembali terpecah karena masalah perbedaan kepentingan negara anggota.

Kali ini, NATO terpecah ketika Kanselir Jerman Olaf Scholz mengutuk bergabungnya Turki dengan aliansi sekutu Rusia dan China.

Olaf Scholz sangat kesal melihat Presiden Tayyip Erdogan berupaya bergabung dengan bada keamanan Asia Tengah yang dipimpin oleh Rusia dan China.

Baca Juga: NATO Ungkap Penyebab Kekalahan Pasukan Rusia di Perang Rusia dan Ukraina

Perlu diketahui, Akhir pekan lalu Erdogan mengatakan bahwa ia menargetkan keanggotaan Shanghai Cooperation Organisation (SCO) untuk Turki.

Ia mengungkapkan, hubungan Turki, Rusia, China dan negara-negara anggota SCO akan berbeda ke depannya.

"Hubungan kami dengan negara-negara ini akan dipindahkan ke posisi yang jauh berbeda dengan langkah ini," ujar Erdogan.

Ketika ditanya apakah maksudnya keanggotaan SCO, dia berkata "tentu saja, itu targetnya,".

SCO sendiri terdiri dari negara-negara yang memiliki kedekatan dengan Rusia dan China.

Adapun anggota SCO terdiri dari China, Rusia, India, Pakistan, Iran, Kirgistan, Tajikistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan.

Baca Juga: Turki Bakal Gabung Sekutu Rusia dan China, Siap Berpaling dari NATO?

Olaf Scholz menanggapi tindakan Turki tersebut dengan reaksi kesal.

Dilansir dari Reuters, Kanselir Jerman berumur 64 tahun ini memperingatkan Erdogan bahwa organisasi SCO tak berkontribusi penting bagi dunia internasional.

"Ini bukan organisasi yang memberikan kontribusi penting untuk koeksistensi global yang baik," ujar Scholz di Majelis Umum PBB di New York setelah bertemu dengan Erdogan.

Scholz juga mengungkapkan kekesalannya atas keputusan Turki yang terkesan berpaling dari NATO.

Mengingat bahwa Turki merupakan anggota NATO dan menyandang seluruh hak dan kewajiban anggota.

"Jadi saya sangat kesal dengan perkembangan (politik Turki) ini," sambungnya.

"Tetapi pada akhirnya penting untuk menyepakati apa yang mendorong kami untuk menjelaskan bahwa Perang Rusia di Ukraina mungkin tak akan berhasil," ujar Scholz.

(*)

Tag

Editor : Wahyu Subyanto