Nextren.com -Pasukan Rusia mengalami kekalahan terus menerus di perang Rusia dan Ukraina sejak akhir Agustus lalu.
Kekalahan tersebut membuat pasukan Rusia mundur dan meninggalkan markas penting yang mendukung perang Rusia dan Ukraina.
Kekalahan Rusia di perang Rusia dan Ukraina dipengaruhi oleh banyak faktor teknis maupun non-teknis.
Petinggi NATO baru-baru ini mengungkapkan analisisnya terkait faktor kekalahan dan hambatan yang dialami pasukan Rusia di Ukraina Timur dan Ukraina Selatan.
Baca Juga: Rusia Kalah Perang, Presiden AS Desak Putin untuk Tak Gunakan Senjata Nuklir dan Kimia
Dilansir dari Reuters, Penasihat Militer NATO mengungkapkan bahwa sanksi Barat telah mengganggu kemampuan Rusia untuk membuat persenjataan canggih untuk perang melawan Ukraina.
Paket sanksi pelarangan penjualan teknologi oleh AS dan Barat nampak mengurangi kekuatan tempur pasukan Rusia.
"Mereka semakin terhambat oleh sanksi karena beberapa komponen yang mereka butuhkan untuk sistem senjata berasal dari industri Barat," ujar Rob Bauer, Laksmana Belanda yang memimpin Komite Militer NATO.
Rob Bauer juga mengatakan bahwa Rusia mulai kesulitan untuk memproduksi rudal jarak jauh dan persenjataan canggih.
"Kami sekarang melihat tanda-tanda serius pertama dalam hal kemampuan Rusia untuk memproduksi misalnya rudal jelajah dan persenjataan yang lebih canggih.
Baca Juga: Kalah di Kharkiv, Putin Justru Makin Serius di Perang Rusia-Ukraina
Meski begitu, Rob Bauer memperingatkan bahwa Rusia masih memiliki industri persenjataan yang aktif.
Industri persenjataan Rusia disebut mampu menghasilkan banyak amunisi untuk perang Rusia dan Ukraina.
"Sejauh yang kami tahu, Rusia masih memiliki basis industri yang cukup besar dan mampu menghasilkan banyak amunisi. Dam mereka masih memiliki banyak amunisi," ujar Rob Bauer.
Baca Juga: Turki Bakal Gabung Sekutu Rusia dan China, Siap Berpaling dari NATO?
Selain terkendala masalah produksi senjata canggih, Bauer mengatakan bahwa Rusia juga terkendala masalah kuantitas pasukan.
Ia menyebutkan bahwa 85% pasukan Rusia telah bertempur di Ukraina.
Hal ini membatasi kemampuan Rusia untuk meningkatkan kekuatan tempurnya dari segi jumlah pasukan dan mobilisasi pasukan.
"Kami melihat jumlah pasukan yang masuk terbatas. Dan satu hal yang kami yakini adalah tingkat pelatihan pasukan itu tidak terlalu tinggi," ujar Bauer.
(*)