Tiga Operator 5G di Indonesia, Teknologinya Beda-beda

Senin, 05 Juli 2021 | 12:30
way

Ilustrasi penerapan 5G untuk Drone Pengawas

Nextren.com - Seperti kita ketahui, saat ini sudah ada beberapa operator yang resmi menggelar layanan 5G di Indonesia, yaitu Telkomsel dan Indosat.Meski cakupan jaringan 5G mereka masih sangat terbatas, hanya di area tertentu di beberapa kota, namun ini adalah kemajuan yang patut diapresiasi.JULI ini, XL Axiata direncanakan mendapat SKLO (Surat Keterangan Laik Operasi) untuk layanan 5G, menyusul dua operator lain, Telkomsel dan Indosat Ooredoo. Tiga operator papan atas akan berebut pasar “menjual” 5G, namun teknologi yang mereka gunakan berbeda-beda. Telkomsel menggunakan spektrum n-40 (2,3 GHz) selebar 30 MHz – yang kemudian bertambah menjadi 50 MHz – khusus untuk 5G, tanpa embel-embel teknologi yang lain.

Baca Juga: Begini Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi, Lancar Berkat Jaringan 5G?Pencapaiannya pun prima, kapasitas unduh menyentuh angka 750 Mbps, walau dengan kondisi alam, rata-rata diakui hanya antara 100 Mbps dan 250 Mbps. Baik Indosat Ooredoo maupun XL Axiata tidak memiliki spektrum 2,3 Ghz seperti Telkomsel. Mereka hanya punya 850 MHz, 1800 MHz (1,8 GHz) dan 2,1 GHz, yang Telkomsel juga punya. Lalu Indosat pun bekerja sama dengan Cisco yang menawarkan teknologi yang belum pernah digunakan di Asia Tenggara, segment routing IPv6 (SRv6) dengan network slicing (irisan jaringan). Indosat memanfaatkan pita selebar 20 MHz di spektrum 1800 MHz (n3) yang memang mengundang risiko.

Bagaimana kinerja penerapan SRv6 Indosat untuk layanan 5G? Yuk lanjut ke halaman berikutnya.

Di spektrum ini Indosat hanya menguasai pita selebar 22,5 MHz yang sejatinya sudah dipenuhi 60 juta pelanggan 4G mereka. Namun ternyata teknologi SRv6 ini unggul, berhasil mencapai kapasitas unduh sampai 540 Mbps dengan latensi (perjalanan data dari awal sampai tujuan dengan ukuran milidetik) yang mencapai 10 md. Angka yang cukup tinggi, apalagi jika fokusnya digunakan untuk layanan industri, UMKM dan IoT (internet of things). Modulasi amplitudo XL Axiata tampaknya akan menggunakan teknologi lain lagi, DSS (dynamic spectrum sharing) di middle band atau midwave. Teknologi ini beda dengan CA (carrier aggregation) seperti yang digunakan di layanan 4G, yang menggabungkan dua frekuensi yang sama untuk mendapat kapasitas lebih besar.

Baca Juga: Perbandingan HP 5G Termurah, Samsung Galaxy A22 5G vs Poco M3 Pro 5GMenurut Direktur Network XL Axiata, Gede Dharmayusa, 4G-5G DSS adalah pemanfaatan spektrum yang sama untuk dua teknologi yang berbeda, 4G dan 5G. Tujuannya, mempercepat implementasi dan penetrasi 5G dengan memanfaatkan spektrum yang telah ada saat ini, yang masih digunakan di 4G. Karena sumber spektrum yang dipergunakan di-share antara 4G dan 5G, tentu saja DSS belum mampu menghadirkan pengalaman 5G yang sebenarnya. DSS lebih dilihat sebagai enabler untuk memperkenalkan teknologi 5G kepada pengguna. Kecepatan yang bisa diperoleh sangat tergantung dari kondisi trafik jaringan.

Tetapi secara teoritis, dengan 20 Mhz dan modulasi 256 QAM (quadrature amplitude modulation – skema yang membawa data yang memodulasi/mengubah amplitudo dari dua gelombang pembawa – maksimum keluarannya (throughput) dapat mencapai hingga 260 Mbps. Untuk layanan 5G, XL Axiata akan menggunakan spektrum 1800 MHz untuk DSS dan 2100 MHz untuk jangkar (anchor) 4G LTE. XL Axiata sudah membuktikan kemampuan 5G dengan teknologi ini pada uji coba Desember lalu. Operator, dengan demikian, akan maksimal memberi layanan 5G jika pemerintah sudah merilis spektrum yang paling optimal dalam implementasi 5G, yang mampu memenuhi kebutuhan akan cakupan dan kapasitas.

Baca Juga: 5 Rekomendasi HP 5G di Indonesia Harga Mulai Rp 2 Jutaan Juni 2021Spektrum midband seperti 3,5 GHz adalah salah satu pita spektrum yang optimal utk 5G. Dengan jangkauan yang hampir sama dengan jangkauan spektrum LTE saat ini (2100 MHz dan 1800MHz) dan pita yang cukup lebar, spektrum ini dapat memenuhi kebutuhan coverage dan kapasitas sekaligus. Biaya sosial tinggi Operator juga berharap pemerintah bisa merilis spektrum 2600 MHz yang selebar 190 MHz, selebar 150 MHz di antaranya masih dikuasai satu kelompok penyiaran televisi analog, yang izinnya baru habis pada 2025. Tahun ini kemungkinan pemerintah akan melelang atau menggunakan cara beauty contest untuk beberapa spektrum, 700 MHz selebar 90 MHz, 26 GHz dan 35 GHz selebar masing-masing 1000 MHz.

Namun investasi yang tinggi untuk milimeterband di spektrum di atas 6 GHz, akan membuat belum tentu operator papan tengah mau ikut lelang. Investasi operator untuk layanan 5G saat ini cukup tinggi, jika masing-masing tetap membangun jaringan sendiri, BTS sendiri, serat optik (FO –fiber optic) dibangun masing-masing. Melayani 5G tidak mungkin terlepas dari kewajiban membangun jaringan FO, yang akan masuk menyusup ke kawasan-kawasan ekonomi yang padat. Seperti kawasan industri, perkantoran dan sebagainya, selain jaringan angkutan perkotaan, perkebunan dan peternakan.

Baca Juga: Daftar HP yang Cocok dengan Internet 5G Indosat, Beda dengan Telkomsel Loh!Biaya investasi (capex – capital expenditure) sebenarnya bisa ditekan kalau semua operator mau saling terbuka. Biaya sosial akan bisa murah kalau, misalnya, Telkom yang punya jaringan FO lebih dari 100.000 kilometer panjangnya, menyewakan sebagian kapasitas FO-nya. Di satu kawasan yang hanya ada FO milik XL Axiata, atau milik Smartfren/Moratel, operator lain tidak usah membangun, cukup menyewa. Apalagi, di kawasan perkotaan padat bisnis, keharusan membangun BTS yang jarak antaranya tidak sampai 200 meter bisa digantikan dengan jaringan FO yang sekaligus bisa berfungsi sebagai BTS. Arogansi superior, ditambah kekhawatiran si penyewa akan lebih unggul, membuat pemilik infrastruktur berupa BTS dan FO enggan menyewakan fasilitasnya. Tetapi konsolidasi, tidak harus merger, menjadi sebuah kesempatan untuk mengefisienkan layanan telekomunikasi yang sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. (*Moch S Hendrowijono, Pengamat Telekomunikasi)Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tiga Operator 5G, Tiga Teknologi Beda"

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya