Nextren.com - Di tengah arus deras informasi hoax yang menyebar lewat sosial media, Kementerian Komunikasi dan Informatika berupaya meningkatkan upaya literasi digital.
Tujuannya untuk mengatisipasi penyebaran infodemi Covid-19 di kalangan masyarakat.
Selain upaya pengendalian konten seusai dengan amanat UU No 19/2016 tentang Perubahan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
WHO telah memunculkan istilah infodemi yang menggambarkan persebaran hoaks berkaitan dengan pandemi Covid-19.
Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, infodemi itu telah menjadi masalah baru bagi dunia internasional, selain pandemi Covid-19 itu sendiri.
Baca Juga: Canggih! Masker N95 Mungkin Akan Jadi Perangkat Teknologi yang Bisa di-Charge
Baca Juga: Ngeri! Seorang Guru Meninggal Karena Corona virus Saat Kelas Online Berlangsung
Upaya pengendalian informasi yang dilakukan Kementerian Kominfo, menurut Dirjen Aptika bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat, namun ditujukan mencegah keresahan dan gangguan ketertiban umum.
“Kami perlu melakukan pengaturan dan pengendalian, bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat."
"Tapi karena situasi pandemi ini kita perlu meluruskan informasi-informasi yang salah, agar tidak membuat keonaran atau membuat keresahan dan/atau mengganggu ketertiban umum,” tegas Dirjen Semuel dalam Konferensi Pers Virtual Strategi Kominfo Menangkal Hoaks Covid-19 dari Media Centeri KPCPEN Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (19/10/2020).
Dirjen Aptika menyatakan ada tiga bentuk infodemi yang beredar, yaitu:
(1) misinformasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat, akibat adanya ketidaktahuan akan informasi yang benar;
(2) disinformasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat dan bersifat destruktif secara sengaja;
(3) malinformasi atau penyebaran informasi faktual untuk merugikan pihak-pihak tertentu.
“Di tengah pandemi, ketiga jenis gangguan informasi mengakibatkan pemahaman masyarakat yang tidak lengkap tentang situasi dan prosedur medis yang tepat terkait virus Covid-19."
Baca Juga: Pelindung Layar HP Ini Diklaim Anti Virus Corona! Ini Kata Pembuatnya
Baca Juga: Singapura Sebar Drone Otomatis Untuk Rekam Warga yang Tidak Mau Jaga Jarak Selama Pandemi Covid-19
"Hal ini kemudian menimbulkan stigmatisasi terhadap rumah sakit, tenaga medis dan penyintas COVID-19, hingga keengganan masyarakat untuk melakukan protokol kesehatan yang telah disarankan,” jelasnya.
Pemerintah terus berupaya meluruskan informasi-informasi yang salah berkaitan dengan pandemi.
Hal itu dilakukan dengan menelusuri informasi hoaks dan menerima aduan dari masyarakat.
"Kami selalu melakukan verifikasi tidak jadi tidak serta merta Pemerintah langsung mengambil tindakan tanpa memverifikasi. Kita selalu melakukan langkah-langkah verifikasi berkas itu dilakukan dengan beberapa pihak," jelas Dirjen Semuel.
Inisiatif Atasi Infodemi
Kementerian Kominfo mengklaim telah melakukan beberapa inisiatif kunci yang telah terbukti efektif untuk mengurangi jumlah persebaran hoaks terkait Covid-19.
Menurut Dirjen Aptika, hingga hari ini telah diidentifikasi 2.020 konten hoaks yang beredar di media sosial.
“Dengan temuan jumlah kategori sebanyak 1.197 topik. Dari 2.020 hoaks tersebut, Kominfo sudah melakukan take-down sekitar 1.759 konten,” jelasnya.
Menurut Dirjen Semuel, dalam melawan derasnya arus infodemi, Kementerian Kominfo melakukan inisiatif berfokus pada yakni level hulu, tengah, dan hilir.
Baca Juga: Unpad Bandung: Vaksin Corona dari China Aman untuk Manusia, Dibuat Dari Virus Mati
Baca Juga: Inggris Temukan Rapid Test Corona 20 menit Dengan Akurasi 98 Persen, Cukup Pakai Sidik Jari!
Di level tengah dan hilir, Kementerian Kominfo lebih berfokus pada terbentuknya kerjasama yang komprehensif antaraktor yang krusial dalam penanganan persebaran hoaks di tengah pandemi.
“Kominfo telah bermitra dengan berbagai platform media sosial yang beroperasi di Indonesia untuk bersama-sama melakukan patroli siber terhadap konten-konten bermuatan hoaks,” tuturnya.
Di level hilir, menurut Dirjen Aptika jika informasi tersebut benar-benar meresahkan masyarakat maka aparat penegak hukum yang langsung menindak.
“Kami juga memberikan kemudahan kepada instansi untuk melakukan klarifikasi supaya informasi tersebut tidak berdampak buruk bagi masyarakat,” tegasnya.
Dirjen Semuel menegaskan di tengah era demokrasi seperti saat ini, Pemerintah tidak mungkin menerapkan pendekatan tangan besi.
Maka tidak lagi ada penutupan situs atau pemblokiran konten tanpa ada alasan yang jelas.
"Ada tahapan-tahapan yang memang melanggar, apalagi kita akan mempunyai Permen baru di mana itu ada tahapannya lebih jelas dan sebelum melakukan pemblokiran itu, ada tahapan pelaku dikenakan sanksi administratif untuk memuculkan efek jera,” jelasnya.
Baca Juga: Inilah Rapid Test Covid-29 Murah Asli Buatan Indonesia, 15 Menit Keluar Hasilnya
Pemerintah menurut Dirjen Aptika juga melibatkan masyarakat dalam menghadapi hoaks.
Menurutnya, masyarakat juga diharapkan perlu mencari tahu.
Sebab, di era digital saat ini siapa saja bisa mengakses informasi dari mana saja sehingga perlu melakukan klarifikasi, memeriksa fakta dan melihat siapa yang menyebarkan informasi atau pemberitaan tersebut.
“Peran masyarakat itu sangat penting, jadi perlu melihat judul-judul yang dibuat yang kadang-kadang provokatif dan mengundang emosi, ini perlu dipahami oleh masyarakat."
"Jadi kalau memang orangnya belum pernah punya kredensial, websitenya baru kemarin dibuat itu perlu dicurigai. Dilihat juga cek fotonya, kadang-kadang fotonya benar tapi captionnya itu juga yang menyesatkan. Jadi perlu masyarakat juga paham tentang hal-hal ini,” tuturnya.
Dirjen Semuel mgatakan bahwa ketika menemukan jenis-jenis infodemi di platform digital, masyarakat dapat melakukan aduan kepada Kementerian Kominfo dengan mengirimkan email ke aduankonten@kominfo.go.id.
Selain melaporkan melalui Kementerian Kominfo, masyarakat juga dapat melaporkan hoaks melalui berbagai kanal informasi yang tersedia seperti Media sosial Facebook, Twitter, Instagram hingga Google yang menyediakan fitur report atau feedback untuk melaporkan berita yang mengandung informasi negatif.
Gencarkan Literasi
Menurut Dirjen Semuel, situasi pandemi ini pemerintah perlu meluruskan informasi-informasi yang salah agar tidak membuat keresahan di masyarakat, apalagi yang dapat mengganggu ketertiban umum.
“Contoh dampak infodemi timbulnya pemahaman masyarakat yang tidak lengkap tentang situasi dan prosedur medis yang tepat terkait dengan Covid-19."
"Stigmatisasi terhadap rumah sakit, tenaga medis dan proses-proses yang sudah dibakukan ini yang menjadi berbahaya bagi masyarakat kalau masyarakat akhirnya membuat stigma,” ujarnya.
Selama masa pandemi, Dirjen Aptika menegakan Kementerian Kominfo melakukan penanganan hoaks dengan pendekatan literasi untuk membantu masyarakat mengidentifikasi informasi hoaks yang beredar.
Selain Kementerian Kominfo juga melibatkan pemangku kepentingan dalam meningkatan literasi kepada masyarakat.
“Kalau penanganan pandemi kita mengutamakan literasi, jadi kita mengutamakan supaya masyarakat paham dan masyarakat lah yang bisa menanganin hoaks-hoaks yang beredar, jadi kita melakukan literasi dari berbagai pihak,” jelasnya.
Menurut Dirjen Aptika, Kementerian Kominfo juga sudah berkolaborasi dengan 108 organisasi baik pemerintahan masyarakat organisasi masyarakat perguruan tinggi dan juga sektor swasta untuk melakukan literasi digital.
“Kita menghadirkan beberapa inisiatif berdasarkan literasi digital, karena literasi digital merupakan kunci penting dalam upaya kita bersama untuk melawan infodemi dan segala jenis risiko kejahatan yang ada di ruang digital,” tandasnya.
Inisiatif ini dikoordinasi oleh GNLD Siberkreasi yang merupakan sebuah gerakan kolaboratif antara 108 komunitas, akademisi, dan institusi yang berfokus pada peningkatan literasi digital masyarakat.
“Program-program pelatihan seperti tips identifikasi hoaks hingga kewirausahaan digital di tengah pandemi telah disediakan oleh Siberkreasi, dan dapat diikuti oleh seluruh masyarakat secara gratis,” ungkapnya.