Sistem Peringatan Dini Tsunami Yang Terjangkau, Berbasis IoT dan Wireless Sensor Network

Rabu, 26 Desember 2018 | 14:41
Kompas.com

Kerusakan akibat Tsunami Anyer, Banten.

Nextren.com - Tragedi tsunami yang terjadi di kawasan Selat Sunda mengingatkan lagi bahwa kita selalu tak siap menghadapi bencana alam yang lekat dengan Indonesia itu. Bencana bisa diantisipasi, namun pemahaman maupun kesiapan perangkat pendukung seringkali diabaikan.Kata kunci yang belakangan paling menguak pasca terjadinya tsunami Selat Sunda adalah perangkat deteksi dini tsunami.BMKG mengaku hanya menyiapkan perangkat yang bekerja berdasarkan picuan gempa tektonik.

Baca Juga : Google Tantang Pembuat AI Untuk Prediksi Bencana Hingga Selamatkan AlamSementara peristiwa tsunami Sabtu malam (22 Desember) justru bukan akibat tektonik.Kiranya kesiapan perangkat menjadi hal paling prioritas saat ini, mengingat frekuensi bencana yang semakin sering terjadi. Lalu, bagaimana perangkat yang paling memadai dan sesuai dengan kebutuhan maupun pendanaan di Indonesia untuk melakukan peringatan dini berbagai jenis bencana alam?Wawancara khusus Sinyalmagz tentang sistem peringatan dini ini terasa menarik, bersumber dari seorang peneliti lulusan Curtin University Australia, Dr. Ir. Prihadi Murdiyat, MT. yang bertahun-tahun melakukan penelitian tentang wireless sensor network (WSN).

Baca Juga : Tsunami Akibat Longsoran Tanah Dan Gempa, Apa Beda Keduanya?Penelitiannya bahkan bisa menjawab akan banyak persoalan di luar bencana alam seperti tsunami, tanah longsor, kekuatan jembatan, dan lainnya.

Prihadi Murdiyat
Prihadi Murdiyat

Dr. Ir. Prihadi Murdiyat, MT., peneliti perangkat jaringan sensor nirkabel untuk pendeteksi dini tsunami

Bisakah diceritakan peralatan sensor deteksi dini tsunami di Indonesia beserta kondisinya?Saat ini, sistem peringatan dini bahaya tsunami yang dimiliki oleh BMKG sebagai badan otorita pemerintah, mengandalkan sensor seismograf, GPS, dan tide gauge.Seismograf dipasang di 200 stasiun seismik yang ada di wilayah Indonesia. Dari 200 stasiun tersebut terdiri dari hal berikut :- 116 stasiun tergabung dalam jaringan Libra milik Indonesia, - 17 stasiun milik Jepang (jaringan Jismet), - 21 stasiun milik Jerman (GFZ), 10 stasiun milik China (jaringan CEA), dan - 6 stasiun CTBTO. Sementara itu, 27 buah stasiun yang masing-masing dilengkapi dengan sensor GPS and tide gauge dioperasikan oleh BAKOSURTANAL.Untuk mendeteksi datangnya tsunami, BMKG mengandalkan data gempa, perubahan ketinggian air laut sebagai akibat dari gempa, serta posisi di mana ketinggian air laut diukur. Masing-masing variabel fisik tersebut secara berurutan diukur oleh seismograf, tide gauge, dan GPS.Setelah diukur, data yang dihasilkan segera dikirim ke kantor BMKG untuk dianalisa model matematisnya dengan menggunakan komputer. Hasil analisa dapat keluar dalam waktu 2 menit, kemudian akan dievaluasi oleh tim ahli di sana paling lama 5 menit.

Jika hasil analisa dianggap valid, peringatan bahaya disampaikan pada masyarakat melalui berbagai media.Kemungkinan besar kondisi peralatan tersebut cukup terawat, karena digunakan secara intensif.Sistem ini cukup memadai untuk mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh perubahan permukaan bumi akibat gempa yang sangat kuat seperti halnya di Gorontalo dan Palu. Namun, sistem ini tidak bisa mendeteksi tsunami yang ditimbulkan oleh sebab lain. Tsunami di Selat Sunda, misalnya, diakui oleh ketua BMKG tidak dapat dideteksi oleh sensor yang ada.Selain itu, sensor-sensor yang terpasang pada buoy juga pernah ditempatkan di beberapa wilayah perairan Indonesia. Sensor bantuan luar negeri ini dipasang untuk menjadi bagian dari sistem peringatan dini setelah terjadinya tsunami besar yang menimpa Aceh dan daerah lainnya. Namun karena kendala teknik dan biaya, buoy ini tidak digunakan lagi.

Bagaimana dengan di luar negeri sebagai perbandingan?Amerika Serikat mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk membangun sistem peringatan dini terhadap gempa bumi dan tsunami. Stasiun-stasiun seismik dibangun di berbagai negara bagian. Semakin rawan suatu wilayah, semakin banyak stasiun yang dibangun.Untuk sensor peringatan dini tsunami, Amerika Serikat juga mengandalkan sensor-sensor yang di pasang di wilayah perairannya, yaitu di dasar laut Pasifik dan Atlantik/Karibia. Jaringan sensor yang diberi nama The Deep-ocean Assessment and Reporting of Tsunamies (DART) ini dapat mengukur perubahan-perubahan tekanan air di bawah laut yang dapat menjadi indikasi adanya tsunami.DART terdiri dari unit bottom pressure recoder (BPR) dan buoy. Unit BPR berfungsi untuk mengukur tekana air di bawah permukaan laut.

Karena terletak di bawah air, BPR tidak bisa menggunakan sinyal radio untuk berkomunikasi langsung dengan stasiun di darat. Oleh karena itu, BPR mengirimkan data ke buoy yang terletak di permukaan laut dengan menggunakan sinyal suara. Selanjutnya transceiver yang dipasang pada buoy mengirim data ke kantor pusat dengan menggunakan komunikasi satelit.

Jepang merupakan negara yang mempunyai sistem peringatan dini paling canggih di dunia. Jumlah sensor per satuan luas di negara itu sangat padat dibanding negara-negara lain. Alasannya, wilayah yang rawan gempa dan tsunami di Jepang sangatlah luas. Banyaknya pemukiman yang terletak di daerah rawan menyebabkan tiap hitungan detik untuk mengeluarkan peringatan sangatlah berarti. Untuk peringatan dini tsunami, Jepang juga menggunakan buoy yang dipasang di wilayahnya, di laut Pasifik. Jepang juga menggunakan data yang hasilkanoleh buoy DART milik Amerika Serikat.Berbeda dengan sistem peringatan dini di kedua negara maju tersebut, sistem peringatan dini yang jauh lebih sederhana dan murah dipasang di Vanuatu. Walaupun lebih sederhana dan murah, sistem peringatan dini yang dikembangkan oleh Flinders University Australia ini terbukti mampu mengirimkan peringatan tsunami dalam waktu 11 detik saat dilakukan uji coba. Sistem ini tetap dapat mengirim pesan bahaya ketika infrastruktur komunikasi seperti BTS rusak. Ini dimungkinkan karena penyebaran informasi dilakukan dengan menggunakan media penerima TV satelit dan pemancar FM mini.

Prihadi Murdiyat
Prihadi Murdiyat

DART (The Deep-ocean Assessment and Reporting of Tsunamies) yang digunakan di Australia

BAGAIMANA MODEL YANG SESUAI UNTUK INDONESIA?Dengan kondisi geografis di Indonesia, sebenarnya model peralatan seperti apa yang lebih sesuai?Dengan luas perairannya yang mencapai 70 % dari keseluruhan wilayah, serta posisinya yang terletak di dua lempeng, Indonesia membutuhkan jumlah perangkat sensor peringatan dini yang lebih banyak dibanding negara lainnya.Dengan jumlah yang sangat banyak, sudah pasti tidak ekonomis jika harus menggunakan peralatan-peralatan berharga mahal. Tetapi perkembangan teknologi yang ada sekarang memungkinkan untuk membangun sistem peringatan dini dari peralatan-peralatan berharga murah.Dengan menggunakan jaringan berbasis teknologi wireless sensor network (WSN) dan internet of things (IOT), maka peralatan untuk sistem peringatan dini dapat dibuat dari sensor dengan teknologi Micro Electro-Mechanical Systems (MEMS), mikrokontroler, dan modul transceiver.Modul-modul ini sudah lama tersedia di pasaran dan bisa didapat dengan harga yang rendah. Sebuah sensor MEMS yang berfungsi mengubah besaran fisik menjadi sinyal listrik, misalnya, hanya berharga beberapa puluh hingga ratusan ribu rupiah. Mikrokontroler yang berfungsi sebagai pengolah data dan pengatur sistem hanya berharga lima puluh hingga seratusan ribu rupiah. Sementara itu, unit transceiver yang bertugas untuk mengirimkan data melalui gelombang radio hanya berharga sepuluh hingga sembilan ratus ribu rupiah, tergantung pada jarak jangkau dan teknologi yang digunakan.

Jaringan sensor yang dibentuk dari peralatan murah ini bisa menjadi bagian dari sistem peringatan dini nasional.Dengan harganya yang murah, jaringan-jaringan ini mudah dibangun di berbagai wilayah di Indonesia untuk melengkapi sistem yang sudah ada.

Namun, dengan semakin kompleksnya jaringan, pusat komputer di BMKG akan menerima data dengan jumlah yang sangat besar.Dalam perspektif peringatan dini yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan untuk menyampaikan peringatan, pemrosesan data terpusat menjadi tidak sesuai lagi. Jumlah data yang besar membutuhkan waktu yang lama untuk dikirim dan diproses menjadi informasi. Oleh karena itu, sistem peringatan dini lokal perlu ada di tiap daerah.Bahkan jika perlu, sistem peringatan dini kecil bisa dipasang di daerah-daerah rawan bencana yang terisolasi dan jaraknya jauh dari kantor pemerintah daerah. Sistemnya dapat menggunakan model yang dipakai di Vanuatu.Bisakah diceritakan harga peralatan sensor tersebut, yang buatan pihak luar negeri ?Sebuah buoy DART milik Amerika Serikat berharga US $ 250.000 (Rp 3,65 miliar). Tidak jelas apakah ini sudah termasuk beberapa unit BPR yang dipasang di dasar laut. Sementara biaya pemeliharaannya adalah sebesar US $ 125.000 (Rp 1,8 miliar) pertahun.

Apakah para ahli di Indonesia sudah membuat dan mengembangkan?Berdasar paper-paper ilmiah yang terdapat di proceeding konperensi dan jurnal baik yang nasional dan internasional, beberapa perguruan tinggi dan lembaga penelitian telah menghasilkan sistem dan peralatan peringatan dini. Namun umumnya dilakukan untuk aplikasi lain seperti banjir dan tanah longsor. Bermula dari penelitian-penelitian ini, aplikasi untuk gempa bumi dan tsunami dapat mulai diperkenalkan untuk diteliti dan diimplementasikan.Untuk sensor yang dipasang pada buoy, IPB dan BPPT telah menghasilkannya. Hanya saja pengembangannya perlu terus dilakukan untuk menghadapi kendala biaya dan teknis yang sebelumnya pernah terjadi pada 22 buoy milik BMKG.Apa yang Anda pelajari dengan sistem yang Anda usulkan selama ini?Pelajaran berharga yang bisa ditarik dari pengalaman saya dan ingin selalu saya bagikan adalah, bahwa sistem-sistem peringatan dini dan sistem-sistem monitoring lainnya dapat dibangun dengan biaya yang murah.Bagi teknologi WSN dan IoT, biaya murah tidak identik dengan kualitas yang rendah. Biaya murah bisa didapat karena teknologi-teknologi terbaru pada sensor, sistem mikroprosesor, dan transceiver telah menghasilkan produk secara massal.Dari segi biaya kira-kira berapa yang dibutuhkan?Sebelum rancangan sistemnya ditentukan, tentu cukup sulit untuk memperkirakan biayanya. Namun sebagai perbandingan, Jepang telah mengeluarkan dana sebesar 1 bilion dollar AS (Rp 14,5 triliun). Sementara itu, negara bagian California mengeluarkan anggaran sebesar 100 juta dollar AS. (Rp 1,45 triliun)

Negara bagian Washington, DC dan Oregon yang gempa buminya lebih jarang membutuhkan anggaran 50 juta dollar AS (Rp 730 miliar) ditambah dengan biaya pemeliharaan sebesar 6 juta dollar AS (Rp 87,5 miliar) per tahun.Bagi Indonesia, biaya yang dikeluarkan bisa lebih rendah. Dengan berbekal kreatifitas, dan kerja keras dari para peneliti di universitas dan lembaga penelitian, sistem-sistem yang dibangun dari peralatan yang murah, juga akan bisa menjadi sistem yang tepat guna.BAGAIMANA MENYIAPKAN HAL INI?Untuk memulai program riset dan aplikasi peralatan, tim seperti apa yang dibuat? Mereka terdiri dari siapa saja?Penelitian-penelitian tentang sistem peringatan dini dan sistem-sistem penunjangnya telah dilakukan oleh secara individu atau kelompok pada lembaga penelitian.Contohnya seperti di BPPT, LIPI dan beberapa universitas seperti STMIK STIKOM Surabaya, Universitas Serambi Mekah dan Universitas Syiah Kuala Aceh, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Mercubuana Jakarta, dan lainnya.Individu atau kelompok peneliti seperti ini dapat didayagunakan dan disinergikan untuk membangun sistem peringatan dini nasional maupun lokal/di daerah. Untuk itu, pemerintah pusat hanya perlu membentuk tim koordinator dengan tugas antara lain membuat dan mengembangkan rancangan garis besar sistem peringatan dini nasional dan lokal, mengarahkan penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas, dan bekerjasama dengan badan-badan nasional pengguna teknologi seperti BMKG, BAKOSURTANAL, BNPB.Dalam tugasnya sebagai pengarah penelitian, tim nasional memulai tugasnya dengan mendata penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas.

Kemudian tim nasional memberikan tugas penelitian kepada lembaga penelitian dan universitas tertentu, sesuai dengan yang sudah mereka lakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian yang dibagikan tersebut merupakan penelitian yang telah direkomendasi oleh tim nasional untuk digunakan dalam sistem peringatan dini nasional dan lokal.

Dukungan seperti apa yang diperlukan dari pemerintah?Agar penelitian, pengembangan, serta implementasi hasil-hasil penelitian yang selama ini telah dihasilkan dapat memberikan manfaat dan tidak sia-sia, pemerintah perlu mendukung dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan konsisten mengarahkan, mengevaluasi, dan memanfaatkan hasil penelitian yang dibuat.

Prihadi Murdiyat
Prihadi Murdiyat

Konfigurasi dasar Wireless Sensor Network (WSN)

Model pembiayaan bisa disalurkan melalui dana-dana penelitian yang telah dianggarkan untuk lembaga penelitian dan universitas. Jika dianggap belum memadai, pemerintah bisa menyisihkan anggaran untuk keperluan yang tak dapat dipenuhi oleh lembaga penelitian dan universitas.Sosialisasi dan edukasi tentangnya pentingnya sistem peringatan dini ini juga perlu disampaikan pada masyarakat umum, masyarakat industri, serta siswa-siswa sekolah dasar dan menengah. Untuk menumbuhkan minat meneliti di kalangan siswa, lomba-lomba tahunan tentang sistem peringatan dini perlu diadakan. Selain dapat menghasilkan peneliti-peneliti muda, acara-acara semacam ini dapat mengumpulkan ide-ide baru yang dihasilkan oleh generasi muda.

Hal-hal apa lagi (baik bencana dan non bencana) yang dapat dioptimalkan dengan menggunakan penelitian Anda?Di negara lain, penelitian intensif dan masif yang telah dilakukan sejak akhir tahun 1990-an telah membuat teknologi wireless sensor network sudah cukup dewasa (mature). Oleh karenanya, di negara-negara tersebut aplikasi teknologi ini telah meluas di berbagai bidang seperti pertanian, kesehatan, olahraga, industri, bangunan, transportasi, militer, dan pengamatan lingkungan. Teknologi WSN bahkan menjadi bagian penting dari teknologi IoT yang manfaatnya akan banyak kita rasakan pada waktu-waktu mendatang.Penggunaan teknologi WSN dan IoT pada aplikasi-aplikasi tersebut telah memacu timbulnya gelombang teknologi baru seperti precision agriculture, smart building, smart home, intelligence transportation system, smart city, industrial IoT (IIOT) yang kemudian lebih dikenal sebagai Industri 4.0., serta building health monitoring.Akhirnya, semoga kita tidak hanya menjadi penonton dan pengguna saja tetapi juga pemain di bidang ini. Sehingga potensi pasar Indonesia yang sangat besar ini tidak hanya dinikmati oleh perusahaan atau lembaga asing saja, tetapi juga oleh anak negeri. (*)

(Rockstar)

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya