Ojek Online Terbukti Tingkatkan Pendapatan, Tapi Terganggu Ojek Fiktif

Rabu, 06 Juni 2018 | 14:01
Gojek

penumpang Gojek

Laporan Wartawan Nextren, Wahyu S.NexTren.com - Merambahnya bisnis ojek berbasis online ke berbagai kota di Indonesia, membuat ribuan orang akhirnya memutuskan untuk beralih profesi sebagai pengendara ojek untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Transportasi online telah berevolusi menjadi jasa kebutuhan sehari-hari seperti antar barang, beli makanan dan beberapa kebutuhan lainMenurut riset Puskakom UI, sebanyak 95% konsumen merasa aman dan 98% merasa nyaman karena mengetahui identitas driver dan bisa mengecek rute. Penumpang transportasi online mayoritas berusia 20-30 tahun sebanyak 56% dan usia 31-40 sebanyak 28%.Sebagian besar (54%) penumpang transportasi online tersebut adalah sarjana .

(BACA :Nokia 'Pisang' 8110 4G Resmi Rilis, Harganya Cuma Rp 900 Ribuan )Sementara itu studi terbaru dari INDEF mengenai transportasi online di Indonesia menyebutkan bahwa setelah bergabung menjadi driver, banyak masyarakat yang mengalami peningkatan taraf ekonomi. Rata-rata setelah gabung menjadi driver ojek online, pendapatan bulanan di kisaran Rp 2,5 – 3,5 juta ditambah bonus insentif sekitar 1 juta. Sedangkan untuk driver taksi online rata-rata di atas Rp 4 juta per bulan.Namun semakin meningkatnya jumlah pengendara ojek online, membuat persaingan antar driver semakin ketat.

(BACA :Instagram Udah Memperbaiki Bug yang Sempat Bikin Resah, Beres! )

Alhasil tak sedikit di antara mereka yang melakukan kecurangan demi mendapatkan penumpang.Beragam modus kecurangan yang dilakukan beberapa mitra pengemudi, di antaranya adalah pembuatan order fiktif, penggunaan aplikasi Fake GPS untuk mencurangi sistem.Mereka juga menggunakan aplikasi tambahan untuk tidak mengambil pemesanan, tanpa mengurangi performa penerimaan order dari mitra tersebut.Istilah 'tuyul' sendiri digunakan untuk menyebut penumpang fiktif. Teknisnya, para driver yang curang menggunakan aplikasi Fake GPS. Jadi, seolah-olah di aplikasi ada penumpang yang diantar, padahal pengemudinya tidak bergerak kemana-mana.

(BACA :Ini Unggahan Amien Rais yang Konon Dihapus Sepihak oleh Instagram, Ada Apa? )

Yusuf
Yusuf

Seminar Transportasi Online

Tak dapat dipungkiri, jika praktik tersebut dilakukan lantaran mitra driver mengejar insentif yang diberikan oleh penyedia jasa transportasi online. Sejatinya, insentif diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada mitra pengemudi. Penilaiannya dilakukan berdasar produktivitas masing-masing mitra pengemudi yang berhasil melampaui standar yang telah ditentukan.Kecurangan yang menjadi marak tersebut tentu saja merugikan perusahaan dan membuat mitra pengemudi lain menjadi kesulitan mendapatkan order.Sedangkan dari sisi pelanggan, jika mendapatkan pengemudi yang menggunakan 'tuyul', mereka cenderung harus menunggu lebih lama untuk kedatangan pengemudi.

(BACA :4 Hape Dual Kamera Murah Ini Nggak Bikin THR-mu Cuma Numpang Lewat )

Sebab jarak yang tertera di aplikasi bukan jarak yang sebenarnya. Alhasil harapan mendapat tumpangan yang cepat dan nyaman menjadi sirna.Upaya Melawan Tindakan CurangSejauh ini upaya untuk memerangi praktek-praktek yang merugikan tersebut telah dilakukan oleh penyedia jasa transportasi online. Go-Jek, aplikasi ride-hailing karya anak bangsa, sudah meluncurkan kampanye #HapusTuyul. Mereka melakukan roadshow ke beberapa kota untuk melakukan sosialisasi kepada para mitra pengemudinya untuk tidak lagi menggunakan aplikasi fake GPS untuk mengejar insentif.

(BACA :Begini Cara Nonton Piala Dunia 2018 di Smartphone tanpa Takut Kehabisan Kuota )Namun hingga saat ini belum jelas langkah-langkah penindakan yang dilakukan perusahaan.Sementara kompetitor Go-Jek, Grab memutuskan mengambil sikap lebih tegas terhadap pemesanan fiktif. Lewat program “Grab Lawan Opik!” itu adalah program yang mendukung dan melindungi mitra pengemudi Grab dari kecurangan, dan memastikan bahwa mereka mendapatkan penghasilan yang adil.

Program ini bertujuan untuk menangkap sindikat dan mitra pengemudi yang mencoba memainkan sistem yang disediakan Grab untuk mitra pengemudinya.Sebagai bagian dari ‘Grab Lawan Opik!’, aktivitas ilegal tersebut terdeteksi oleh sistem manajemen risiko dan kecurangan Grab dan telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya untuk penyelidikan lebih lanjut.

(BACA :Bocoran Spesifikasi OPPO Find X, Hape Gahar dengan RAM dan Baterai Monster )

Para pelaku kejahatan dari praktek ini telah ditangkap di berbagai kota di Indonesia karena secara tidak sah mengakses aplikasi Grab dan menjalankan operasi opik, menggunakan Fake GPS.Payung Hukum Tindakan ojek fiktif sudah banyak dijerat oleh penegak hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur terkait Informasi Elektronik.Perbuatan order fiktif yang dilakukan oleh driver Ojek Online dapat dikategorikan sebagai tindak penipuan. Berdasarkan pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka perbuatan hukum (legal action) yang dilakukan oleh pelaku order fiktif, maka sudha memenuhi semua unsur delik tindak pidana di dalam pasal tersebut.

(BACA :Deretan Program XL Sambut Fenomena Ramadan, Mudik dan Lebaran )Maka, subyek hukum pelaku order fiktif bisa dipidana dengan dijunctokan kedalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dilihat dari semua unsur-unsur pasal 378 KUHP maka tindakan subyek hukum pelaku dalam perbuatan order fiktif memenuhi semua unsur dalam pasal tersebut.

Pentingnya Penegakan HukumPengamat siber Pratama Persadha mengatakan, pentingnya sosialisasi yang masif untuk membuat gerakan melawan ojek fiktif serta mendorong adanya solusi lain yakni penggunaan sertifikat digital.“Saat ini memang penggunaan sertifikat digital dalam kepentingan e-commerce belum mempunyai tata perundangan dan tata kelola yang matang.""Namun demikian sudah terlihat upaya dari pemerintah untuk menerapkan sertifikat digital dalam transaksi elektronik,” tandas Pratama di sela-sela diskusi media yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) dan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), yang digelar di Hotel Kartika Chandra, Jakarta (5/6/2018).

(BACA :Foto-Foto Asus ROG Phone, Hape Game Terbaru yang Gahar Banget )Dengan adanya sertifikat digital ini, menurut Pratama maka diharapkan proses otentifikasi dan otorisasi semakin ketat dan kuat.Hal itu akan berujung semakin aman dan terpercayanya transaksi elektronik, termasuk untuk penggunaan aplikasi transportasi online dan sejenisnya. Sementara itu, Bhima Yudistira, pengamat ekonomi INDEF mengatakan bahwa maraknya “Tuyul dan ojek fiktif akan berimbas pada kerugian industri, baik secara material maupun sistem. Pada ujungnya akan membuat kerugian besar bagi industri dan perekonomian secara global,” ungkap Bhima.“Saya mencatat dari pemberitaan di media massa, imbas kerugian ojek fiktif bisa mencapai miliaran rupiah."

"Jika tidak ada solusi yang tepat, ini akan membuat industri tidak sehat,” ungkap Bhima.

(BACA :Trik Mudah Bobol Fitur Face Unlock Hape OnePlus 6 Terungkap, Mau Coba? )

Sementara itu, Muslih Zaenal Asikin dari Masyarakat Transportasi Indonesia memandang pentingnya tindakan tegas oleh penegak hukum dalam memberantas ojek fiktif dan “Tuyul”.Perlu pula kampanye dan penyadaran hukum kepada para driver bahwa tindakan Ofik dan “Tuyul” adalah tindakan melawan hukum yang memiliki konsekuensi hukum. “Ojek fiktif dan “Tuyul” itu masuk dalam kategori penyakit masyarakat, masuk dalam kategori pencurian dan penipuan. Kondisinya saat ini sudah masuk kategori darurat. Untuk itu perlu sinergi berbagai pihak dalam memberantas para sindikat tersebut.

(BACA :Cara Memperbaiki Autentikasi Google Play Error, Tanpa Factory Reset )Karena mereka itu, diindikasikan tidak hanya dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh jaringan sindikat,” ungkap Muslih.Selain sertifikat digital, pemerintah juga didorong untuk merumuskan UU Perlindungan Data Pribadi agar setiap perusahaan dan instansi yang menyimpan dan memproses data penduduk wajib menyediakan sistem yang unggul dan aman.Pratama Persadha mencontohkan Uni Eropa (EU) yang telah mengaktifkan GDPR (General Data Protection Regulation).GDPR adalah peraturan mengenai Data Privacy yang diterapkan bagi seluruh perusahaan di dunia yang menyimpan, mengolah atau memproses personal data penduduk EU.Tujuan dari GDPR adalah memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap kerahasiaan data (data privacy) dalam ekonomi digital saat ini.

(BACA :Sharp A Click, Hape Jepang 4 Kamera Rp 3 juta Dijual di Indonesia )

Caranya dengan memberikan keleluasaan lebih bagi individual terhadap datanya dan memberikan peraturan yang lebih ketat kepada pihak yang mengelola atau menyimpannya.Peraturan ini akan efektif pada 25 Mei 2018 di seluruh dunia. Seluruh perusahaan di tanah air, termasuk perusahaan transportasi online wajib memenuhi GDPR saat ada warga EU yang menjadi member aplikasi tersebut.Solusi untuk Perusahaan AplikasiDengan fenomena maraknya penyerangan (hacking) pada sistem pembayaran transportasi online, perusahaan aplikasi harus meningkatkan sistem keamanan mereka. Menurut Pratama, kelemahan-kelemahan di aplikasi harus segera ditutup agar perusahaan bisa menjalankan bisnis secara sustainable. Ia menyarankan pengaplikasian enkripsi karena bisa mencegah terjadinya pencurian data, manipulasi data dan terutama order fiktif akibat peretasan.

(BACA :Apple Kenalkan Memoji, Pesaing Berat AR Emoji Samsung Galaxy S9 )Enkripsi bisa dipadukan dengan teknologi otentikasi iris scanner, sidik jari bahkan lebih ekstrim lagi dengan digital signature. Setiap lalu lintas data memerlukan otentikasi atau persetujuan tambahan dengan sistem tersebut.“Enkripsi diaplikasikan pada seluruh sistem, baik di server, maupun di aplikasi driver serta penumpang."

"Bagi driver otentikasi ini juga bisa digunakan untuk menjaga saldo mereka tetap aman,” kata Pratama.Sedangkan cara terbaik untuk menghindari Fake GPS, tambah Pratama, adalah membangun sebuah aplikasi dengan menggunakan HAL (Hardware Abstraction Layer).

(BACA :7 Meme THR yang Bikin Ngakak dan Merasa Senasib Sepenanggungan )Dengan pendekatan ini, hardware GPS langsung berkomunikasi dengan “APPS”. Contoh aplikasi yang memakai HAL adalah WeChat dengan alasan keamanan Negara (Tiongkok).Cara lain adalah membangun aplikasi GPS sendiri, ditambah dengan enkripsi sebagai pengamannya. Contohnya aplikasi GPS X (buatan sendiri) tersebut melakukan enkripsi sebelum mengirimkan informasi ke aplikasi driver dan penumpang. Aplikasi driver dan penumpang disetting hanya bisa menerima aplikasi GPS X tersebut, sehingga fake GPS tidak bisa digunakan. Fungsi enkripsi di sini adalah melindungi informasi agar tidak bisa dimanipulasi.Bahkan jika perusahaan aplikasi mengalami kendala untuk menambal lubang keamanan, maka pemerintah didorong untuk ikut campur tangan. “Bila perlu pemerintah membangun aplikasi GPS sendiri yang bisa digunakan oleh seluruh developer lokal, dengan fitur anti fake GPS,” ujar Pratama. (*)

Tag

Editor : Wahyu Subyanto