Survei CfDS UGM: Penipuan Digital Marak, Terbanyak Berkedok Hadiah Lewat SMS dan Telepon

Jumat, 26 Agustus 2022 | 11:44
gridoto

Ilustrasi penipuan online

Nextren.com - Kasus penipuan digital dan kebocoran data sering terjadi di Indonesia, menunjukkan betapa rentan sistem perlindungan data pribadi.

Mengingat rentannya warga Indonesia menjadi korban penipuan digital yang sangat beragam, Indonesia dinilai butuh payung hukum pembentukan satuan tugas khusus untuk mencegah dan menangani penipuan digital.

Rekomendasi itu muncul dalam diskusi peluncuran hasil riset “Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi” (24/8/2022) yang diadakan oleh Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada bersama Program Magister Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan PR2Media dengan dukungan WhatsApp.

Diskusi daring tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari warga yang pernah menjadi korban, pemerintah, pelaku industri, hingga anggota DPR RI sebagai forum untuk merumuskan langkah untuk menindaklanjuti temuan riset.

Riset yang dilakukan pada awal 2022 itu menghasilkan potret kerentanan masyarakat Indonesia terhadap penipuan digital yang bersifat lintas sektoral dan modusnya terus berkembang seiring meningkatnya kebiasaan digital masyarakat.

Baca Juga: Marak Penipuan M-Banking BRI, Pakar Kemanan Data Beri Saran untuk OJK

“Berdasarkan temuan riset dan diskusi dengan para pemangku kepentingan, kami menilai otoritas di Indonesia belum bersinergi untuk melakukan langkah mitigasi yang memadai, seperti yang sudah dilakukan di banyak negara lain. Akibatnya, masyarakat belum terlindungi dari salah satu risiko era digital ini,” kata Novi Kurnia, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM yang menjadi ketua tim peneliti.

Survei tim peneliti terhadap 1.700 responden di 34 provinsi menemukan, 66,6% responden (1.132 orang) pernah menjadi korban, yang terbanyak adalah modus penipuan berkedok hadiah yang dilakukan melalui SMS dan panggilan telepon.

Dari 1.132 responden yang pernah menjadi korban, survei mencatat korban paling banyak berasal dari penipuan berkedok hadiah melalui jaringan seluler (36,9%), pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus (33,8%), penipuan jual beli (29,4%), situs web/aplikasi palsu (27,4%), dan penipuan berkedok krisis keluarga (26,5%).

Sementara itu, medium komunikasi yang paling banyak digunakan dalam penipuan adalah jaringan seluler (SMS/panggilan telepon) (64,1%), diikuti media sosial (12,3%), aplikasi chat (9,1%), situs web (8,9%), dan email (3,8%).

Untuk menanggapi maraknya praktik kejahatan tersebut, Aju Widya Sari sebagai Direktur Telekomunikasi Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo menyatakan, Kemkominfo tak henti-hentinya bekerjasama dengan pelaku industri untuk melakukan penertiban terhadap nomor seluler, sebagai alat awal pelaku penipuan digital melakukan aksinya yang sangat beragam.

“Dirjen PPI bersama dengan Aptika (Direktorat Aplikasi dan Tata Kelola) telah memberikan pelatihan kepada masyarakat untuk mewaspadai ragam modus penipuan online yang biasanya terjadi di ruang digital. "

"Untuk mendukung tersebut, Kominfo juga telah membuat kanal aduan yang berkolaborasi langsung dengan operator untuk melanjutkan ke tindakan pemblokiran melalui https://layanan.kominfo.go.id/microsite/aduan-brti dan CekRekening.id,” kata Aju Widya Sari.

Baca Juga: Modus dan Antisipasi Begal Rekening yang Sedang Merajalela, Waspadalah!

Dengan beragamnya modus penipuan digital, yang oleh tim peneliti UGM dibagi menjadi 15 jenis, salah satu modus yang mencatatkan banyak korban adalah jual beli di media sosial.

Untuk menanggapinya, Rofi Uddarojat sebagai Head of Public Policy and Government Relations in Indonesian E-Commerce Association (idEA) menyatakan, edukasi bagi konsumen selalu idEA lakukan bersama lokapasar untuk menyampaikan risiko transaksi digital dan langkah untuk mencegahnya.

“Untuk lokapasar, kini platform sering menunda pemberian uang ke penjual untuk mengurangi resiko barang tidak sesuai. Lokapasar adalah tempat yang ideal untuk mengurangi risiko penipuan digital, meski tetap ada risiko social engineering yakni saat calon korban pembeli dipandu bertransaksi di luar platform, ini yang perlu kita hindari karena platform tidak dapat membantu kasus semacam itu,” kata Rofi Uddarojat.

Diskusi selanjutnya berlanjut ke langkah sinergi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi penipuan digital yang lintas sektor dan regulasi, mengingat otoritas di Indonesia dinilai tim peneliti belum melakukan langkah mitigasi yang memadai, seperti yang sudah dilakukan di banyak negara lain.

Untuk itu, Junico BP Siahaan sebagai anggota Komisi I DPR RI menyampaikan usulan sebuah Peraturan Presiden yang menugaskan berbagai kementerian dan lembaga negara, termasuk kepolisian, untuk membuat satuan tugas khusus mengatasi penipuan digital.

“Satgasus untuk pengelolaan ini dapat dipayungi oleh Kemenkominfo, karena penipuan digital selalu melibatkan wilayah kerja Kominfo. Prinsipnya, untuk mengatasi ini harus ada sinergi yang intens, otoritas tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, harus ada juga platform pengaduan terintegrasi yang memudahkan korban melapor," kata Junico Siahaan.

Sinergi semacam itu juga telah dilakukan tapi baru untuk mengatasi penipuan di sektor keuangan, melalui Satgas Waspada Investasi yang melibatkan 12 lembaga, seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Bareskrim Polri, dan Kejaksaan Agung.

Baca Juga: Cara Kerja Iklan Penipuan di Instagram, Bisa Kuras Rekening Kurang dari 30 Menit

Praktik baik Satgas Waspada Investasi tersebut disampaikan oleh Hudiyanto, Deputi Direktur Pelayanan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa melalui kolaborasi itu, korban sekali lapor sudah tercatat ke semua otoritas terkait, sehingga kerja otoritas bisa lebih efektif.

Benang merah lain yang bisa dipetik dari diskusi itu adalah semua pemangku kepentingan sepakat, edukasi literasi digital kepada masyarakat adalah upaya yang perlu selalu dilakukan mengingat kecakapan tersebut merupakan modal paling kuat mencegah penipuan digital, baik terkait sektor finansial maupun tidak.

“Langkah pencegahan di hulu adalah keharusan. Tanpa literasi memadai, akan ada banyak warga yang menjadi korban penipuan digital. Literasi digital adalah kerja kolaboratif yang perlu dilakukan terus-menerus, dan kami di UGM selalu berupaya menjalin kerja dengan para pemangku kepentingan,” kata Novi Kurnia.

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya