Nextren.com - Serangan Rusia ke Ukraina sudah terjadi, dan tampaknya bakal makin besar eskalasinya karena tentara Rusia sudah mengepung Ukraina.
Konflik kedua negara sebenarnya sudah terjadi lama sejak tahun 2014, dimulai saat Rusia menginvasi Ukraina.
Saat itu, Rusia menyerang Ukraina karena presiden Ukraina yang pro Rusia digulingkan awal 2014, seperti dilansir BBC (24/2/22), .
Hal itu membuat hubungan erat kedua negara menjadi rusak.
Lalu munculah kesepakatan perdamaian internasional Minsk, namun konflik terus berlanjut.
Baca Juga: 3 Senjata Sniper Rusia Paling Mematikan, Bisa Bunuh Musuh dari Jarak 7 Km
Sementara pemimpin Rusia berdalih mengirim pasukan ke dua daerah yang dikuasai pemberontak.
Dukungan kuat Putin terhadap pemberontak separatis di Ukraina Timur, telah membuat hubungan Rusia dengan Barat mencapai titik terburuk sejak Perang Dingin berakhir.
Putin terus mengerahkan pasukannya ke perbatasan Ukraina, bahkan saat menghadapi sanksi internasional yang mengisolasi Rusia dan menggoyahkan ekonominya.
Namun seperti biasa, Kremin membantah melakukan hal itu.
Menurut Protokol Minsk sebagai perjanjian gencatan senjata, ada pemberian otonomi ke wilayah selatan Ukraina dan bahasa Rusia akan menjadi salah satu bahasa resmi.
Satu zona penyangga akan didirikan di sepanjang garis depan, dan senjata berat akan ditarik dari wilayah pemukiman.
Namun, Putin tampaknya menginginkan lebih dari itu.
Dalam wawancara dengan koran Al-Ahram, Putin menolak Rusia bertanggungjawab atas krisis di Ukraina.
Menurut Putin, hal ini terjadi sebagai reaksi atas upaya AS dan sekutu Barat, yang menganggap mereka sebagai pemenang Perang Dingin, untuk menerapkan kehendak mereka di mana-mana.
"Janji AS dan sekutunya untuk tidak memperluas NATO ke timur ternyata hanya pernyataan semata,” kata Putin.
Baca Juga: Beranikah AS dan NATO Lawan 5 Senjata Rusia Paling Mematikan Ini?
Sejak Ukraina pecah dari Uni Soviet, perlahan Ukraina makin dekat ke negara Barat dan hendak bergabung ke NATO.
Sementara Rusia sejak lama menolak langkah Ukraina tersebut untuk bergabung dengan Eropa, baik NATO maupun Uni Eropa.
Tuntutan Putin adalah adanya jaminan dari Barat dan Ukraina, bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO.
Juga agar Ukraina melucuti senjatanya (demiliterisasi) dan menjadi negara netral.
Maka solusi krisis Ukraina kemungkinan besar adalah tidak memasukkan negara itu sebagai anggota NATO, meskipun sejumlah pihak di Barat tidak bisa menerimanya.
Bagi Putin, krisis ini hanyalah kekesalan terakhir dari begitu banyak insiden, seperti saat Barat menghancurkan kepentingan Rusia di negara lain mulai dari Kosovo ke Irak, dari Libia dan Suriah.
Mungkin tujuan akhir Putin adalah ingin mengubah asumsi yang berkembang setelah Uni Soviet terpecah.
Asumsi itu terkait hal apa saja yang akan diterima oleh Rusia, dan perubahan hubungan antara negara itu dengan Barat.