Nextren.com - Sudah setahun guru dan siswa belajar dan mengajar secara online, atau biasa disebut pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Hal ini ternyata menimbulkan ketidaknyamanan,baik bagi guru maupun siswa yang selama ini sudah terbiasa belajar dengan tatap muka.
Tak hanya itu, sebagai makhluk sosial, siswa dan guru juga butuh untuk bertemu dan berinteraksi secara fisik.
Salah satu hal yang dikemukakan oleh Kemendikbud terkait dampak dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah adanya tekanan psikologis pada anak.
Dimana, itu bisa berupa stress lantaran minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan, bisa juga dikarenakan tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh itu sendiri.
Baca Juga: Capek Keseringan Rapat dan Belajar Online via Zoom? Cegah Pakai 4 Cara Ini
Bagi anak yang cepat atau mudah beradaptasi, PJJ mungkin bukan sebuah masalah.
Namun tidak demikian bagi anak yang sulit atau tidak cepat beradaptasi. Alih-alih efektif, PJJ justru dapat mendatangkan tekanan. Terlebih saat menghadapi ujian.
Ya, ketidaksiapan menghadapi ujian tak dimungkiri dapat menjadi pemicu stress lainnya pada anak.
Bukan saja membuat anak kurang termotivasi belajar, ada juga yang stress karena memiliki target yang tinggi tetapi bingung untuk mencapainya karena tidak ada guru yang mendampingi secara fisik.
Lantas, bagaimana caranya agar psikologi anak tetap stabil/terjaga selama pembelajaran jarak jauh?
Termasuk juga menjaga agar tetap stabil menjelang ujian sekolah?
Yuk lanjut ke halaman berikutnya.
Tentu bukan perkara mudah. Karena bagaimanapun ada begitu banyak perbedaan yang harus dihadapi antara sebelum dan selama pandemi.
Sebagai contoh, jika sebelum pandemi dulu pembelajaran 100% dilakukan di sekolah.
Dimana siswa memiliki atau membentuk pola belajar yang umumnya sama. Misalnya belajar berkelompok, belajar dengan teman sebaya, mandiri, atau dengan guru sebagai fasilitator yang dapat memantau maksimal pembelajaran siswa.
Setelah pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, jarak jauh, sehingga rangkaian prosedur belajar yang dilakukan pun ikut berubah. Lebih banyak mandiri.
Baca Juga: Prediksi Trend Micro: Sistem WFH dan Berbasis Cloud Jadi Sasaran Empuk di 2021
Peran guru dalam proses pembelajaran pun demikian, menjadi sangat berkurang. Sebagai gantinya, orang tua mengambil alih.
Sekali lagi, ini tidak mudah. Bukan saja bagi orang tua, tetapi juga si anak.
Dari sini, berbagai tekanan psikologis mulai berdatangan. Pada level tertentu, bahkan membuat anak menjadi kurang termotivasi dalam aktivitas pembelajaran.
Hal tersebut disampaikan Psikolog Intan Erlita, M.Psi, dalam acara PODCAST Telset TV.
Menurutnya, ini semua tak terlepas dari kedudukan anak itu sendiri sebagai makhluk sosial.
Dimana mereka butuh untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam hal ini bukan saja orang tua, tetapi juga teman seusianya, gurunya dan lingkungannya.
"Karena logikanya anak-anak itu, baik TK, SD, SMP, maupun SMA, membutuhkan kontak atau sosialisasi yang cukup tinggi."
"Dimana mereka belajar mengenali lingkungan, belajar mengenali bagaimana ngobrol dengan guru, orang yang lebih tua, serta bagaimana beradaptasi dengan teman-teman seumurannya."
"Pandemi ini membuat mereka kehilangan masa-masa yang dikatakan sebagai hubungan manusianya itu."
Baca Juga: 5 AC Samsung Hemat Daya Listrik, WFH Nyaman Gak Bikin Listrik Jebol
"Hubungan bagaimana dia beradaptasi. Nah ini menimbulkan stress tersendiri," jelas Intan.
Kondisi ini diperburuk dengan tuntutan belajar yang tinggi, tugas-tugas yang banyak namun waktu yang tersedia untuk mengerjakan sedikit, serta tidak adanya waktu untuk mengaktualisasikan diri.
Di level ini, Intan menyebut bahwa banyak anak akhirnya merasa jenuh dan lelah.
Ini kemudian tidak hanya berdampak pada nilai yang turun, tetapi juga emosi yang tidak terkontrol. Dimana anak mudah marah.
“Jadi mereka gampang marah, gampang seolah-olah kayak ngelawan sama orang tuanya. Kayak dia ngga nyaman dengan kondisinya."
"Nah itulah yang terjadi dengan anak-anak kita saat ini, kalau kita bicara mengenai efek negatif dari PJJ,” tambahnya.
Saat kita mengaitkan ini dengan ujian, tekanannya pun menjadi semakin tinggi.
Di satu sisi, mereka masih harus beradaptasi. Di sisi lain, ada target-target yang mungkin tetap harus diwujudkan.
“Jadi kondisi memasuki ujian ini ada dua, ada siswa yang ‘Ok I'm ready’, ada juga yang konteksnya nggak siap, akhirnya stress,” kata Intan.
Disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan, bukan saja sebagai supporter, yang memberi dukungan pada anak dalam proses belajarnya, tetapi juga seseorang yang bisa diajak berdiskusi, menjadi pendengar yang baik, dan tentu saja memberi motivasi.
Baca Juga: Rekomendasi Ponsel Mumpuni Seharga Rp 3 Jutaan untuk Temani Anak Belajar di Rumah
"Jadi sekarang ini bisa dibilang merupakan saatnya bagi kita untuk lebih mengenal anak kita. Cobalah untuk mendengarkan mereka."
"Dengan begitu mereka bisa berpikir, ‘saya bisa datang ke orang tua saya kapanpun saya ada masalah, karena orang tua saya mau mendengarkan.’
"Karena adakalanya anak kita juga ngga butuh solusi dari kita. Mereka cuma butuh didengarkan," lanjut Intan.
Hal yang tak jauh berbeda diungkap Maryam Mursadi, M.Pd, pemerhati dunia Pendidikan sekaligus Head of Academic KELAS PINTAR.
Meski menyebut demotivasi pada anak, khususnya menjelang ujian, kerap terjadi. Namun ini bukan berarti tak bisa diatasi apalagi dihindari.
Sederhananya, bicara mengenai ujian berarti bicara mengenai readiness, atau kesiapan.
Jika anak siap menghadapi ujian, dalam arti paham dengan materi yang akan diujikan, berlatih dengan baik, dan rutin, maka kekhawatiran akan gagal pun bisa dihindari.
Sebaliknya, bagi anak yang tidak siap, menghadapi ujian dapat mendatangkan kecemasan, dan akhirnya stress.
“Nah, demotivasi muncul karena siswa belum siap menghadapi ujian, atau dia tahu dia belum paham atau tidak siap ujian, tapi tidak tahu bagaimana menghadapinya atau mencari jalan keluarnya,” ungkap Maryam.
“Inilah mengapa mempersiapkan diri sejak awal sangatlah penting.”
Baca Juga: Unboxing Oppo A11k, HP Entry Level Yang Cocok Buat Sekolah Online
Untuk mengatasi permasalahan yang muncul karena PJJ ini, KELAS PINTAR memiliki solusinya. Misalnya ketika mengajarkan materi secara virtual, tidak semua siswa dapat memahami.
Mungkin hanya 40% saja yang dipahami, bisa karena koneksi yang terputus atau sebab lainnya dan tidak bisa masuk lagi dalam kelas virtual. Kendala teknis ini bisa terjadi.
Menurut Maryam, siswa perlu memperpanjang waktu belajarnya.
Sebagai contoh, ketika terlewat atau belum paham materi pelajaran tertentu, menggunakan fitur GURU dari KELAS PINTAR siswa bisa mendapatkan penjelasan menyeluruh.
Pun demikian ketika siswa kurang paham dengan soal latihan yang diberikan oleh guru di sekolah, fitur Tanya dari KELAS PINTAR, ada untuk menjawab setiap soal yang ditanyakan.
“Berdasarkan data, menjelang ujian, baik itu saat jelang PTS (Penilaian Tengah Semester) maupun PAS (Penilaian Akhir Semester), aktivitas siswa di aplikasi KELAS PINTAR sangat meningkat.
Misalnya di TANYA, begitu sesi dibuka, langsung pertanyaan itu berdatangan. Baik pada sesi pagi dari pukul 09.00 – 12.00 maupun sesi malam dari pukul 18.00 – 21.00.
Secara tidak langsung menunjukkan ada beberapa materi yang belum mereka pahami, dan tidak mungkin semua dijawab oleh gurunya di sekolah,” ungkap Maryam.
Dengan demikian, belajar selama PJJ tidak akan menjadi beban, karena didukung dan difasilitasi, bukan saja oleh orang tua, ataupun lingkungan, tetapi juga platform yang tepat.
Baca Juga: Video TikTok Dianggap Ikatan Guru Indonesia Bisa Menjadi Platform Belajar Anak
“Kami pun di Kelas Pintar selalu mencoba untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan siswa."
"Bahwa siswa membutuhkan materi pembelajaran yang jelas dan lengkap, bervariasi serta relevan dengan kondisi mereka. Materi pembelajaran yang mereka inginkan juga haruslah mudah dipahami, praktis serta menyenangkan,” pungkas Maryam.
Terlepas dari sejumlah dampak negatif yang muncul sebagai akibat diterapkannya metode pembelajaran jarak jauh (PJJ), Intan juga tidak menampik adanya dampak positif dari PJJ. Diakuinya, momen ini menjadi saat yang tepat untuk melatih kemandirian anak.
Disini, Ia mengungkap tentang satu persepsi yang sejatinya harus sama-sama dimiliki orang tua saat ini: membantu tapi bukan membantu secara harfiah.
“Biarkan anak mengurus bukunya sendiri, mengerjakan PR-nya sendiri, dan sebagainya."
"Jadi sudah bukan saatnya kita ngomong, ah ngga tega. Karena kadang-kadang merasa tidak tega itu membuat si anak tidak menjadi sosok yang mandiri,” tegas Intan.
Ia menambahkan, orang tua cukup membantu sesuai porsinya. Biarkan anak menyelesaikan masalahnya sendiri, semaksimal yang dia bisa.
“Yang penting ada usahanya, karena ini akan mempengaruhi karakternya saat dewasa,” katanya.
Baca Juga: Evercoss M60 Rilis Hape Android untuk Pelajar Seharga Rp 700 Ribuan
Hal yang sama diamini Maryam. Menurutnya, sisi positif dari PJJ adalah siswa berlatih untuk menjadi pembelajar yang mandiri.
Dimana karena keterbatasan interaksi dengan guru di sekolah, mereka mau tidak mau mencari tahu sendiri materi yang belum mereka pahami dari sumber lain. Namun, tidak bisa dipungkiri, pada era digital seperti sekarang ini, banyak konten yang belum tentu bisa dipertanggung jawabkan kebenaran.
Jadi alangkah baiknya, siswa pun mencari sendiri misalnya lewat KELAS PINTAR, platform yang memang memiliki kredibilitas.