Nextren.com - Sebentar lagi Hari Raya Imlek akan tiba, yaitu tepatnya pada 25 Januari 2020.
Biasanya Imlek disambut meriah baik lewat peragaan budaya seperti Barongsai, maupun lewat pesat diskon dan belanja di pusat-pusat perbelanjaan.
Kini tak ada salahnya kita mengetahui sejarahnya bagaimana dulu bangsa China masuk ke Indonesia.
Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, sejumlah ornamen bernuansa Tionghoa mulai terlihat terpajang di sejumlah kota di Indonesia.
Kelenteng mulai berhias.
Baca Juga: Ini Promo Huawei di Opening High-end Experience Store Mall Emporium Pluit
Lampion-lampion yang sebagian besar berwarna merah juga terlihat menggantung menghiasi kota, seperti Jakarta, Medan, Solo, dan Surabaya.
Imlek atau perayaan tahun baru berdasarkan penanggalan yang berpijak pada pergerakan bulan memang lekat dengan bangsa Tionghoa.
Tradisi ini dipegang keturunan Tionghoa di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Bangsa China memang memiliki peran besar dalam peradaban dunia, terutama daya jelajah masyarakatnya ke pelosok dunia.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa historiografi atau penulisan sejarah Indonesia tidak lepas dari peran bangsa China di Indonesia.
Baca Juga: Alphabet, Perusahaan Induk Google Capai Nilai Pasar USD 1 Triliun
Aktivitas kerajaan di Nusantara misalnya, yang sudah terekam dalam jurnal atau catatan penjelajah China sejak abad ke-4 hingga abad ke-7.
Dengan demikian, tidak heran jika kemudian aktivitas masyarakat Tionghoa di Nusantara juga berkembang. Hingga kemudian, masyarakat Tionghoa juga berkontribusi dan memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Temuan arkeologi Hingga saat ini masih sulit untuk memastikan secara pasti mengenai keberadaan bangsa China di Indonesia.
Dugaan awal masuknya bangsa China di Nusantara diketahui berkat penemuan benda arkeologi.
Baca Juga: Fitur Baru Google Chrome: Global Media Control, Widget Audio dan Video
Dilansir dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik yang ditulis sejarawan Benny G Setiono, penemuan benda kuno yang memperlihatkan awal masuknya bangsa China antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan Barat; juga kapak batu dari zaman Neolitikum.
Artefak itu memperlihatkan kesamaan dengan yang ditemukan di China pada periode yang sama.
Penemuan lainnya adalah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan, yang termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I pada periode 600 SM hingga abad ke-3 Masehi.
Nama Dongson diambil dari desa kecil di Thanh Hoa, Teluk Tonkin, di sebelah utara Vietnam.
Genderang perunggu dengan tinggi sekitar 1 meter dan berat lebih dari 100 kg itu memiliki kesamaan dengan genderang perunggu asal China yang berasal dari masa Dinasti Han.
Baca Juga: Kekayaan Budaya Tegal Hadir di TikTok, Bahasa Ngapak, Sedekah Bumi dan Situs Harta Karun
Penemuan sejumlah benda arkeologi itu memperlihatkan bahwa ada kemungkinan terjadi lalu lintas pelayaran yang dilakukan masyarakat Tionghoa di China dengan masyarakat Nusantara.
Dugaan itu juga didukung dengan berbagai kronik dan cerita dari Dinasti Han, terutama pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (6 SM - 1 SM).
Pada masa itu, bangsa China mengenal Nusantara dengan sebutan Huang Tse.
Perkembangan lebih lanjut adalah dengan penemuan adanya koloni masyarakat Tionghoa di Tuban, Gresik, Jepara, dan Lasem pada pemerintahan Kerajaan Airlangga.
Penemuan serupa juga terdapat di Banten.
Baca Juga: Lenovo Siap Hadirkan Headset VR untuk Perbaiki Citra Gamingnya di 2020
Masyarakat Tionghoa dapat bermukim dan menjadi koloni setelah mereka mampu beradaptasi dan diterima dengan masyarakat setempat.
Koloni itu kemudian terus berkembang hingga terjadi pembauran.
Historiografi
Bangsa China memiliki peran besar dalam historiografi Indonesia.
Salah satu tokoh yang mencatat mengenai eksistensi Nusantara atau Indonesia sejak awal adalah Fa Hian, yang dikenal juga sebagai Fa Hsien, Fa Hien, atau Faxian.
Benny G Setiono menulis bahwa Fa Hian yang merupakan seorang pendeta atau biksu itu mengunjungi Pulau Jawa pada 399-414.
Saat itu dia dalam perjalanan menuju India.
Perjalanan Fa Hian itu ditulis dalam buku berjudul Fahueki.
Baca Juga: Daisy, Robot 18 Meter Buatan Apple yang Bisa Pisahkan 14 Jenis Mineral di Limbah iPhone Bekas
Jejak penjelajahan Fa Hian itu kemudian diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Ning dalam perjalanan ziarah menuju India.
Catatan perjalanan lain yang memperlihatkan eksistensi Nusantara dalam ekspedisi bangsa China adalah yang ditulis oleh I Tsing.
Pada 671, Pendeta I Tsing berangkat dari Canton menuju Nalanda di India.
Perjalanan itu ditulis secara detail dalam buku Nan Hai Chi Kuei Fa Ch'uan dan Ta T'ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch'uan.
Secara spesifik, arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) menulis bahwa I Tsing dalam perjalanan dari India singgah di Shih Li Fo Shih, yang dikenal juga sebagai San Fo Tsi atau Fo Shih.
Baca Juga: WhatsApp Batal Pasang Iklan Di Layanannya, Kabar Baik Bagi Pengguna?
Arkeolog dan sejarawan George Coedes mengidentifikasi Shih Li Fo Shih sebagai Sriwijaya.
Identifikasi ini sebagaimana dikenali dalam prasasti tertua Kadatuan Sriwijaya di Sumatera Selatan.
Sejumlah catatan sejarah itu menginspirasi para penjelajah China untuk mendatangi Nusantara.
Salah satu penjelajah China yang kemudian memiliki pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho.
Baca Juga: Grab Hadirkan Fitur Baru di GrabFood, Buat Kamu Mudah Pesan Makan
Uka Tjandrasasmita menulis bahwa ekspedisi China yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dilakukan sejak pemerintahan Dinasti Ming di bawah Kaisar Cheng Tsu (1403-1424).
Cheng Ho disebut bertujuan untuk meyakinkan kerajaan di wilayah Laut Selatan dan Barat untuk mengakui Kekaisaran China.
Perjalanan itu kemudian tercatat dalam jurnal berjudul Ying-Yai Sheng-Lan yang diterjemahkan oleh JVG Mills (1970).
Sejumlah catatan sejarah itu memperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa sudah ada sejak lama dan menjadi bagian penting dalam terbentuknya masyarakat Indonesia di masa depan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menelusuri Sejarah Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia..."Penulis : Bayu Galih