Diuber Terus, Apa Sih Salah Uber?

Sabtu, 19 September 2015 | 14:07
oik yusuf/ kompas.com

Stiker Uber di jendela belakang salah satu mobil sewaan

“Jangan sampai akibat ulah Uber ini, terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa. Karena hal itu sudah terjadi di Paris dan Meksiko.” Pernyataan keras itu meluncur dari mulut Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan saat rapat evaluasi penanganan taksi online, Kamis (17/9/2015) lalu, sebagaimana dirangkum Nextren dari Kompas.com.Tak dijelaskan lebih lanjut mengenai “pertumpahan darah” seperti apa yang dimaksud. Yang jelas, urusan Uber di negara Perancis dan Meksiko memang sudah berbuntut menjadi tindak kekerasan.Juni lalu, para pengemudi taksi di Paris memblokade jalan ke bandara dan stasiun kereta di kota tersebut dalam demonstrasi menolak kehadiran Uber. Polisi anti huru-hara terpaksa ikut turun karena para pengunjuk rasa turut menyerang kendaraan dan membakar ban di jalanan.Kejadian yang mirip berulang di Meksiko, sebulan setelahnya, di mana kendaraan Uber di sekitar bandara Mexico City menjadi korban penyerangan fisik. Para sopir taksi di sana bersumpah akan memburu pengemudi Uber.Perancis dan Meksiko cuma dua contoh lain di luar Indonesia. Masih banyak negara-negara lain yang bermasalah dengan Uber, seperti Jerman, Inggris, India, Selandia Baru, juga negara asal Uber sendiri, Amerika Serikat.Kericuhan yang terjadi di negara-negara itu diwarnai perang hukum di pengadilan, pelarangan beroperasi untuk Uber, penggrebekan kantor, hingga penangkapan eksekutif perusahaan yang bersangkutan. Uber, sang penyedia layanan ride sharing, seakan memicu kontroversi di mana pun ia berada.Apa salah Uber?Konsep ride sharing yang dikedepankan Uber sebenarnya menarik. Perusahaan ini mengajak para individu pemilik mobil untuk menyewakan tumpangan kepada orang-orang yang membutuhkan jasa transportasi.

oik yusuf/ kompas.com

Pengemudi mobil Uber hanya bermodal sebuah iPhone yang digunakan untuk memantau pesanan dan melakukan semua hal yang berkaitan dengan platform transportasi tersebut

Uber berperan menyediakan aplikasi untuk saling menghubungkan para pemilik mobil dengan konsumen potensial. Calon penumpang bisa memanggil mobil Uber lewat smartphone. Sang pemilik mobil yang dalam hal ini bertindak sebagai sopir pengantar pun bisa melihat dan menanggapi order -berikut lokasi calon penumpang dan tujuannya- dari layar gadget.Setelah diantar, penumpang turun dan membayar ongkos tumpangan secara cashless, menggunakan kartu kredit. Sang sopir pemilik mobil pun bebas melenggang, entah mencari order lain atau pulang untuk tidur di rumah karena tak punya kewajiban kejar setoran, sementara Uber memungut sejumlah komisi dari pembayaran penumpang. Semua sama-sama senang bukan? Tidak juga, karena urusan transportasi tak sesederhana antar-jemput, bayar, dan pergi begitu saja.Ada regulasi yang diberlakukan untuk para pengelola jasa transportasi umum di tiap negara. Aturan-aturan ini antara lain menetapkan soal perizinan operasional, pembayaran pajak, kelayakan kendaraaan, hingga pemenuhan hak-hak pegawai (yang sangat diperhatikan di beberapa wilayah, seperti Eropa). Di sinilah letak akar masalahnya karena Uber kekeuh menyatakan diri sebagai “perusahaan teknologi”, bukan perusahaan taksi, sehingga merasa tak perlu tunduk pada undang-undang transportasi di sebuah negara. Pengemudi yang bergabung juga bukan dipandang sebagai pegawai, melainkan sebatas “mitra kerja”. Alhasil, resistensi pun muncul dari pihak pemerintah negara-negara yang memandang Uber beroperasi secara ilegal dan tidak bertanggung jawab atas kendaraan, sopir, serta para penumpang yang menggunakan jasanya.Para pengelola dan pengemudi perusahaan taksi ikut buka suara karena merasa Uber berkompetisi secara tidak fair, lantaran tak membayar pajak dan biaya-biaya lain terkait kewajiban sebagai pengelola bisnis transportasi umum.NgototKehadiran Uber di Indonesia sudah mengundang masalah sejak pertama diluncurkan di Jakarta, setahun lalu. Kegiatan perusahaan tersebut dipandang tak ubahnya taksi gelap yang beroperasi terang-terangan.Uber lalu dilarang beroperasi di Jakarta dan Bandung. Tapi perusahaan asal San Francisco, AS ini tetap ngotot menjalankan bisnis sambil melancarkan upaya untuk menjustifikasi model usahanya, termasuk dengan menggalang dukungan pengguna dan menyinggung isu sosial seperti penyediaan lapangan kerja. “Kota-kota di seluruh dunia menikmati ride-sharing sebagai cara mengatasi kekurangan pada transportasi publik, mengurangi kemacetan, dan menyambungkan daerah yang sulit dijangkau,” tulis Uber mengenai manfaat eksistensinya. Mobil Uber dinyatakan ilegal, tapi tetap beredar. Buntutnya reaksi pemerintah makin keras dan berujung pada penangkapan sejumlah kendaraan yang terlibat layanan Uber.

Kahfi Dirga Cahya/KOMPAS.com

Taksi Uber diamankan di halaman parkir Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.

Belakangan, Uber melunak dan berjanji akan segera mengajukan permohonan izin Penanaman Modal Asing (PMA), setelah sebelumnya telah memperoleh izin membuka kantor perwakilan asing, awal tahun ini.Jika izin PMA sudah disetujui oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal, maka Uber akan memiliki badan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT) di Indonesia. Ketiadaan badan hukum memang merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan legalitas Uber dipertanyakan. Selama belum memiliki PT, Uber tidak membayar pajak serta tidak memiliki izin operasional di Indonesia.Soal ini, pihak Uber menyatakan belum menarik komisi dari para pengemudi rekanannya di Indonesia sehingga belum perlu membayar pajak, setidaknya menurut Uber sendiri.Diresmikan sajaMasalah Uber sebagai “perusahaan teknologi” dengan model layanan yang tak sama dengan model transportasi umum selama ini sebenarnya juga dialami oleh penyedia jasa ojek berbasis aplikasi macam Go-Jek. Bedanya, ada regulasi yang mencakup dan mengatur bidang layanan Uber sebagai penyedia jasa transportasi, misalnya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 tahun 2003 Pasal 1 ayat 3 soal kendaraan untuk umum yang dipungut bayaran.

shutterstock

Uber Taxi.

Sementara, Go-Jek belum tercakup aturan karena -mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan- kendaraan roda dua (dalam hal ini ojek sepeda motor) bukan termasuk ke dalam ketegori angkutan umum.

Adapun Grab Taxi dipandang murni sebagai penyedia aplikasi karena bermitra dengan perusahaan-perusahaan taksi resmi berpelat kuning, tak seperti Uber yang merangkul pengguna mobil pribadi berpelat hitam. Pihak organisasi angkutan darat (Organda) dan Dinas Perhubungan (Dishub) yang gencar menyasar Uber selama ini cenderung tidak mengusik Go-Jek. Namun, baik Uber maupun Go-Jek tetap bisa dipandang sebagai usaha ilegal. Satu-satunya cara untuk meresmikan keberadaan mereka adalah dengan membuat regulasi baru yang mengatur soal layanan ini, seperti dilakukan Filipina lewat pengesahan ride sharing sebagai “Transportation Network Company” yang berbeda dari perusahaan transportasi pada umumnya. Peresmian itulah yang diusulkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, beberapa waktu lalu. Dia berpendapat bahwa layanan ride sharing adalah efek wajar dari perkembangan teknologi dan sebaiknya dirangkul daripada kucing-kucingan dengan pemerintah.“Yang untung kan masyarakat. Ini kan perkembangan teknologi. Selama itu tidak merusak sistem, ya nggak masalah bikin aturan baru. Namun, itu tergantung dari sektor masing-masing, ya. Nanti soal aturan baru mesti bicarakan sama Pak Jonan (Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan),” ujar Rudiantara.Ibarat pertengahan musim sebuah kisah sinetron, Uber, regulator, dan para pemangku kepentingan lain sedang menjalankan langkah masing-masing di tengah drama yang berlangsung. Semoga saja tak berlarut-larut dan ada happy ending buat semua.

Tag

Editor : Oik Yusuf

Sumber kompas.com