Teknologi 5G, Proyek Telekomunikasi Ambisius yang Dilebih-lebihkan Operator?

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 22:07
Gizmochina

ilustrasi Teknologi 5G di dunia

Nextren.com - Usai pengumuman peluncuran 5G baru-baru ini, Singapura dihebohkan oleh berbagai kemungkinan dari kehadiran 5G itu.

Para pemimpin perusahaan menggembar-gemborkan "ekosistem 5G, yang dinamis", sebagai faktor kunci dalam ekonomi digital yang kompetitif.

Tapi, seberapa banyak yang kita ketahui tentang 5G?

Dan, apakah 5G betul-betul seperti yang digembar-gemborkan?

Sachin Mittal, Regional TMT Research, Bank DBS mengirimkan analisanya kepada redaksi Nextren.

Apa itu 5G dan apa saja kemampuannya?

5G, atau Generasi ke-5, adalah istilah umum, yang digunakan untuk mengacu pada perkembangan baru dalam ranah telekomunikasi.

5G ini dianggap “selangkah lebih maju” jika dibandingkan dengan teknologi 4G.

Secara relatif, 5G meningkatkan kecepatan dan latensi data -dengan meningkatan kecepatan data 10 hingga 100 kali.

Baca Juga: 5 Hambatan Penerapan 5G di Indonesia, Meski Operator Siap Masuk 5G

Teknologi 5G juga menargetkan latensi 20 hingga 40 kali lebih rendah, sehingga bisa memperpendek waktu yang dibutuhkan sinyal untuk mencapai satu titik dari titik lain.

Dalam praktiknya, 5G memungkinkan seseorang download (secara legal, tentunya) film ultra high-definition (HD) hanya dalam beberapa detik.

Artinya ini secepat kilat, bila dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh 4G.

Peramal masa depan membayangkan bahwa, dalam waktu tidak terlalu lama, orang dapat menonton film di mobil otonom (yang juga didukung 5G), yang akan mengantarnya ke tempat kerja, dengan segala sesuatu telah sepenuhnya dilakukan secara otomatis oleh robot.

Baca Juga: Ini Tahapan Penerapan 5G di Indonesia Menurut Kominfo, Sudah Dekatkah?

Bayangkan keadaan jalan raya pada jam sibuk. Sekarang, bayangkan jalan raya tersebut sebagai jaringan telekomunikasi dan kendaraan yang lalu-lalang di sana sebagai byte data.

Untuk memperlancar arus lalu lintas di jalan raya padat tersebut, dua hal perlu terjadi: (a) kendaraan harus melaju lebih cepat, atau (b) jalur baru ditambahkan untuk menampung lebih banyak kendaraan. Kini, "jalan raya" 4G sudah beroperasi dengan kapasitas penuh.

Batas maksimum telah dicapai.

Semua jalurnya penuh dengan kendaraan, yang melaju dengan kecepatan maksimum.

Baca Juga: CEO Baru Indosat Ahmad Al-Neama Menilai Indonesia Belum Saatnya Masuk Jaringan 5G

Sachin Mittal
Sachin Mittal

Ilustrasi teknologi 5G

Bayangkan 5G, jalan raya lebih lebar dengan kapasitas lebih besar untuk menampung lebih banyak kendaraan.

Namun, apa gunanya lebih banyak jalur tanpa disertai dengan kecepatan lebih tinggi?

Untungnya, 5G menggunakan teknologi Massive Multiple Input and Multiple Output (mMIMO), yang memungkinkan setiap kendaraan melintas 1,5 hingga 5 lebih cepat dari biasanya.

Penerapan teknologi 5G memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam hal penggunaan teknologi mMIMO, yang mensyaratkan penggunaan spektrum frekuensi tinggi.

Baca Juga: Ericsson: Penyerapan 5G lebih cepat dari perkiraan, Pelanggan di Akhir Tahun 2019 Lebih 10 Juta

Secara analog, meski lebar, sebenarnya panjang efektif jalur operasional 5G sangat pendek.

Pada dasarnya itu berarti bahwa operator telekomunikasi harus terus menambahkan berbagai struktur pendukung untuk memperpanjang jalur 5G.

Di dunia nyata, struktur pendukung itu disebut BTS (base station) atau perangkat pengirim dan penerima sinyal.

BTS ini digunakan untuk memperluas jangkauan nirkabel.

Teknologi 5G tidak hanya membutuhkan lebih banyak base stations, tapi juga biaya setiap stasiun kemungkinan jauh lebih mahal.

Baca Juga: Ericsson Luncurkan Implementasi Jaringan 5G Yang Lebih Sempurna

Menurut perkiraan konservatif, operator memerlukan 4 hingga 5 kali lebih banyak BTS untuk mendukung teknologi 5G.

Biaya setiap BTS 5G mungkin 20 hingga 30 persen lebih tinggi, serta mengkonsumsi daya tiga kali lebih banyak.

Dapatkah Anda membayangkan hidup di dunia, yang dikelilingi oleh begitu banyak BTS?

Jangan Lupakan Latensi

Mobil otonom digadang-gadang sebagai bukti penerapan teknologi 5G.

Sementara sebagian besar pemain 5G mengklaim bahwa 5G beroperasi pada tingkat latensi kurang dari 30 milidetik.

Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Jaringan 5G di Indonesia Lambat Digelar

Angka itu masih jauh di atas tingkat yang diperlukan oleh mobil otonom agar berfungsi lebih optimal, yaitu 1 hingga 2 milidetik.

Dengan mempertimbangkan faktor tersebut, investasi besar-besaran juga harus dilakukan di bidang itu.

Singkatnya, peluncuran jaringan 5G membutuhkan modal sangat besar.

Yang lebih penting, apakah konsumen bersedia menanggung biaya untuk menikmati segala "kenyamanan" teknologi 5G?

Baca Juga: Sistem 5G Masih Belum Sempurna, Samsung Justru Sudah Rancang 6G

Tampaknya tidak demikian.

Kecuali jika 5G dapat membantu konsumen mengakses kenyamanan baru, atau memangkas biaya di tempat lain.

Perusahaan, di sisi lain, mungkin akan bersedia merogoh kocek demi 5G jika hal tersebut membantu mereka mendapatkan sumber pendapatan baru bagi bisnis mereka.

Memakai Senapan mesin untuk menembak seekor burung

Potensi penerapan teknologi 5G mengalami nasib sama dengan kehebohan terkait teknologi tersebut.

Baca Juga: Siapkan Teknologi 5G, Ini PR yang Harus Disiapkan Menurut Telkomsel

Pengembangan kendaraan otonom, misalnya, terlambat beberapa tahun dari rencana.

Sejauh ini, kendaraan hanya dapat berjalan dengan dikendarai oleh pengemudi atau sepenuhnya otonom hanya di jalur-jalur tertentu.

Kebutuhan praktis untuk 5G sulit untuk dibenarkan jika tidak diiringi dengan keberhasilan pengembang dalam menempatkan kendaraan otonom di jalan bebas hambatan.

Dalam kenyataan, kecepatan yang ditawarkan oleh teknologi 4.5G lebih dari cukup untuk sebagian besar penggunaan konsumen dan perusahaan.

Baca Juga: Menakjubkan! Pengguna Jaringan 5G di Korea Telah Capai 1 Juta

Teknologi 4.5G berfungsi sebagai saluran efektif untuk mengatasi tantangan teknis jangka pendek dalam meluncurkan layanan 5G, sembari mempertahankan kompatibilitas dengan perangkat dan infrastruktur 4G yang ada.

Terus terang, usulan bagi penerapan konektivitas 5G secara menyeluruh terlalu sulit diterima.

Perusahaan mungkin menjadi pengguna awal 5G untuk proyek tertentu, namun tidak meyakinkan bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu dekat.

Jika sejarah adalah petunjuk (kasus pesawat supersonik The Concorde), maka yang tercepat tidak selalu keluar sebagai pemenang.

Ternyata, teknologi 5G jauh di bawah yang digembar-gemborkan di sebagian besar negara, yang telah menerapkannya.

Operator seluler melebih-lebihkan kemampuan serta kehebatan aksesibilitas dan konektivitasnya.

Baca Juga: 5G Belum Jalan, Nokia dan Ericsson Bakal Kembangkan Jaringan 6G

Berikut adalah beberapa contoh:

Baru-baru ini, AT&T dikritik karena mengelabui pelanggan, membuat mereka berpikir bahwa jaringan 4G mereka adalah jaringan 5G, hanya dengan mengubah ikon jaringan telepon.

Partisipasi Verizon ke dalam pasar 5G juga di bawah standar, dengan berbagai keluhan pelanggan mengenai jangkauan buruk dan tidak merata.

Tak jauh dari sini, di Korea Selatan, 5G masih terbatas pada daerah perkotaan.

Sungguh berat tanggung jawab yang dipikul para pemimpin.

Dengan persiapan peluncuran 5G secara seadanya, orang pasti bertanya-tanya, apakah biaya investasi tambahan untuk 5G betul-betul sepadan?

Editor : Wahyu Subyanto

Baca Lainnya