Mengintip “Dapur” Studio Game di Salatiga

Kamis, 11 Februari 2016 | 14:29
Educa Studio via Segitiga.net

Salah satu game edukasi hasil karya Educa Studio, Kisah Teladan Nabi (KABI)

Educa Studio adalah salah satu startup lokal Indonesia yang fokus menggarap aplikasi mobile berupa game edukasi untuk anak. Judul-judul andalanya adalah seri Mari Belajar dan Kisah Nabi.Pengembang software yang bermarkas di kota Salatiga, Jawa Tengah ini bisa dibilang sukses merintis usaha dengan modal sendiri, tanpa bantuan investor luar.Bukan hanya berhasil bertahan, dengan mengandalkan pemasukan lewat iklan yang ditayangkan di dalam game, Educa Studio juga membangun gedung kantor berlantai dua di kota asal kedua pendirinya, suami-istri Andi Taru Nugroho dan Idawati.“Kami mendirikan kantor di ini tahun 2014, dari hasil menabung bersama-sama,” ujar Andi ketika menyambut kedatangan Nextren bersama rombongan jurnalis lainnya di markas Educa Studio, Salatiga, minggu lalu.

Oik Yusuf/ KOMPAS.com

Suami istri pendiri Educa Studio, Andi Taru Nugroho dan Idawati

Setelah pertama dicanangkan pada 2011, Educa studio kini telah diperkuat 13 orang karyawan full-time yang mencakup ilustrator, animator, hingga programer.Dalam waktu 4 tahun, mereka telah menelurkan lebih dari 200 aplikasi di bawah naungan 7 brand utama. Total angka unduhan dari yang dikantongi dari platform Android, iOS, dan Windows Phone pun mencapai kisaran 15 juta.Suasana "dapur"Kantor Educa Studio terlihat tak ubahnya rumah dua tingkat dengan pekarangan dan area garasi yang lumayan luas.Di lantai dasar, sebuah ruang tamu yang menyatu dengan area rapat berisi meja besar dikelilingi kursi-kursi akan langsung menyambut tamu begitu melangkah masuk.

Oik Yusuf/ KOMPAS.com

Studio rekaman di lantai dasar kantor Educa Studio

“Sebenarnya kami jarang rapat. Meeting seluruh awak hanya beberapa bulan sekali untuk menyamakan visi dan tujuan bersama,” ujar Andi sambil menyampaikan presentasi sambutan.Lantai yang sama turut menampung tempat wudhu, musala, dapur, juga sebuah ruangan yang berfungsi sebagai studio rekaman.“Dapur” produksi yang sebenarnya terletak di lantai dua, berbentuk meja-meja dan kursi yang disusun berdekatan menjadi beberapa blok, tanpa penyekat.

Oik Yusuf/ KOMPAS.com

Suasana ruangan kerja di lantai dua kantor Educa Studio

Disinilah para programer, ilustrator, dan animator bekerja sama mewujudkan konsep game ke dalam bentuk nyata.Tahapan pembuatan game dimulai dari penggodokan konsep dan desain awal. Setelah itu berlanjut ke sketching karakter, lalu ke ilustrator untuk diwujudkan dalam bentuk digital, barulah kemudian programming.“Dari sana, game ‘dihidupkan’ oleh animator, bekerjasama dengan programmer,” terang Andi. “Keseluruhan flowproduksi game ini cukup panjang, bisa mencapai 3 bulan atau lebih."

Oik Yusuf/ KOMPAS.com

Salah satu komputer yang dipakai untuk menguji game di kantor Educa Studio

Idawati berperan sebagai tester yang mengamati kualitas game di ujung proses produksi. Andi menyebut istrinya ini sebagai orang tak tak kenal kompromi dan tegas memastikan sebuah game telah layak main sebelum benar-benar dirilis ke pasaran.“Dalam menilai, saya melihat apakah hasil akhirnya sesuai dengan konsep awal atau tidak. Kemudian dari segi pengalaman, apakah sudah enak dimainkan atau belum,” ujar Idawati"Sulit SDMSalah satu kendala membangun binis pengembangan game di Salatiga adalah sulitnya mencari sumber daya manusia (SDM) berupa tenaga ahli TI yang mau bertahan tinggal di kota tersebut.Menurut Andi, meski dia sendiri memegang gelar magister TI dari Universitas Kristen Satya Wacana, kebanyakan lulusan TI di daerahnya lebih suka merantau ke Jakarta atau kota besar lain untuk bekerja di perusahaan mapan.

Oik Yusuf/ KOMPAS.com

Seorang ilustrator tampak serius mengerjakan desain karakter untuk game Educa Studio

Ketimbang hanya menunggu, Andi akhirnya merekrut sejumlah murid SMK yang tidak memiliki latar belakang TI. Mereka diajari programing selama tiga bulan usai magang di Educa Studio.“Programer kami ada 5 orang, semuanya anak SMK. Soalnya kalau cari yang sudah jadi susah sekali,” terangnya.Demikian pula soal mencari tenaga untuk bidang lain, seperti desainer grafis. Beruntung, soal yang satu ini, kata Andi, Educa Studio bisa merekrut empat orang desainer grafis terbaik di Salatiga.Tanpa internet, tanpa lemburSuasana di dapur Educa Studio pada siang hari yang hujan rintik-rintik itu terbilang sepi. Belasan orang di dalamnya sibuk berkonsentrasi dengan pekerjaan masing-masing dan tak saling berbicara. Ada yang mencorat-coret kertas membuat sketsa untuk tokoh game baru, ada juga yang berkutat dengan baris-baris kode pemrograman. “Kebetulan, kami semua introvert, jadi tak banyak omong, ha-ha-ha,” ujar Andi setengah bercanda. “Tapi ini karena belum ‘panas’ saja. Biasanya selewat jam 12 sudah ramai kayak pasar,” dia melanjutkan.

Oik Yusuf/ KOMPAS.com

Awak Educa Studio berfoto bersama Head of Corporate Communications Google Indonesia, Jason Tedjasukmana (baris atas, ketiga dari kanan)

Andi mengatakan pihaknya punya resep jitu untuk meningkatkan konsentrasi para awak Educa Studio, yakni dengan meniadakan akses internet kecuali di dua komputer yang khusus untuk keperluan riset dan mencari referensi, serta internet mobile di ponsel masing-masing.Cara ini disebutnya manjur untuk meningkatkan output produksi Educa Studio, meski sempat membuat “kaget” saat pertama kali diimplementasikan, 2013 lalu. “Produktivitas bisa meningkat hingga 3 kali lipat karena kita tak disibukkan dengan aneka macam ‘godaan’ untuk membuka media sosial, menonton streaming video, dan lainnya,” kata Andi.Efektivitas ini pula yang menyebabkan suasana kerja Educa Studio menjadi nyaman. Semuanya bisa diselesaikan tepat waktu tanpa banyak tekanan.Malahan, Andi menyebut para karyawan selalu bisa pulang ke rumah sebelum jam 5 sore, setiap hari kerja pada Senin-Jumat. “Jarang sekali ada yang lembur di luar waktu tersebut. Sejak awal kami memang menekankan pada keseimbangan antara pekerjaan dan waktu untuk keluarga,” pungkasnya.

Tag

Editor : Reza Wahyudi